Page 38 - Buku 9
P. 38
Rekognisi memang tidak lazim dibicarakan dalam se-
mesta teori hubungan pusat dan daerah; ia lebih dikenal
dalam pembicaraan tentang multikulturalisme. Dalam mas-
yarakat multikultur, senantiasa menghadirkan perbedaan
dan keragaman identitas baik suku, agama, warna kulit,
seks dan lain-lain. Bahkan juga menghadirkan pemilahan
antara mayoritas versus minoritas, dimana kaum minoritas
sering menghadapi eksklusi secara sosial, budaya ekonomi
dan politik. Kaum minoritas merasa menjadi warga nega-
ra kelas dua yang tidak memiliki hak dan kedudukan yang
sama dengan kaum mayoritas. Karena menghadapi eksklu-
si, tidak kelompok atau komunitas yang berbeda maupun
kaum minoritas memperjuangkan klaim atas identitas,
sumberdaya, legitimasi dan hak. Tindakan negara mengh-
adapi klaim-klaim itu menjadi isu penting dalam pembic-
araan tentang rekognisi.
Meskipun rekognisi lahir dari konteks multikulturalisme,
tetapi ia terkait dengan keadilan, kewargaan dan kebang-
saan; bahkan mempunyai relevansi dengan desentralisasi.
Pada titik dasar, rekognisi terletak pada jantung kontesta-
si ganda di seputar kewargaan, hak, politik identitas, klaim
redistribusi material dan tuntutan akan kerugian masa si-
lam yang harus diakui dan ditebus (Janice McLaughlin,
Peter Phillimore dan Diane Richardson, 2011). Kontestasi
klaim inilah yang menjadi salah satu alasan lahirnya konsep
desentralisasi asimetris di banyak negara, termasuk Indone-
sia, yang melahirkan otonomi khusus bagi Aceh dan Papua
serta keistimewaan bagi Yogyakarta. Dengan kalimat lain,
desentralisasi asimetris untuk tiga daerah itu, yang berbeda
IDE, MISI DAN SEMANGAT UU DESA 37