Page 36 - Buku 9
P. 36
Pasal 18 ayat 7 yang sepadan dengan asas desentralisasi-re-
sidualitas, yang menempatkan desa sebagai pemerintahan
semu, sama dengan UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004.
Ketika Pansus RUU Desa DPR RI bekerja pada tahun 2012,
isu dua pasal cantolan dan asas itu menjadi diskusi yang
hangat, baik di dalam ruang Pansus maupun di luar Pan-
sus. Dalam RDPU Pansus RUU Desa, Yando dengan lantang
mengemukakan asas rekognisi, sementara saya, IRE, FPPD
dan STPMD “APMD” mengedepankan asas rekognisi dan
subsidiaritas.
Saya juga terlibat dalam diskusi yang digelar oleh Fraksi
PPP, yang menghadirkan Dirjen PMD, Ketua Pansus Akhmad
Muqowam, dan pakar pemerintahan desa dari Universitas
Terbuka Hanif Nurcholis, 21 Juni 2012. Dalam diskusi itu
saya melakukan elaborasi asas rekognisi dan subsidiaritas
untuk merekonstruksi ulang kedudukan dan kewenangan
desa. Hanif Nurcholis, yang mengklaim sebagai doktor dan
pakar pemerintahan desa, menolak tegas konsep rekognisi.
Dalam makalahnya yang panjang, Hanif sama sekali tidak
menyebut rekognisi, sebab kata dia, rekognisi hanya akan
membuat desa sebagai lembaga masyarakat yang dikontrol
oleh negara. Karena itu dia merekomendasikan secara ber-
beda sebagai berikut:
Sudah waktunya Pemerintah dan DPR menata ulang Desa.
Desa harus dimasukkan dalam sistem pemerintahan formal. Ada
tiga jalan yang bisa ditempuh: 1) dijadikan kesatuan masyarakat
hukum adat yang dimasukkan dalam sistem formal (konsepsi
Soepomo); 2) dijadikan daerah otonom berbasiskkan adat
(konsepsi Hatta dan Yamin); dan 3) dijadikan unit pelaksana
teknis kecamatan/menjadi kelurahan (pengitegrasian ke dalam
IDE, MISI DAN SEMANGAT UU DESA 35