Page 49 - Buku 9
P. 49
Dua perspektif itu saling bersinggungan dan beririsan,
yang mengilhami UU Desa meletakkan kedudukan desa se-
bagai hybrid antara masyarakat yang berperpemerintahan
(self governing community) dan pemerintahan lokal (local
self government). Desa sebagai self governing community
mengacu pada perspektif desa dari UUD 1945 Pasal 18 B
ayat 2. Sedangkan desa sebagai local self government men-
gacu pada perspektif pemerintahan dari UUD 1945 Pasal 18
ayat 7. Namun sesuai pertimbangan konstitusional, historis
dan sosiologis, porsi desa sebagai self governing commu-
nity jauh lebih besar dan kuat daripada porsi desa sebagai
local self government. Ingat bahwa UU No. 6/2014 adalah
Undang-undang Desa, bukan Undang-undang tentang Pe-
merintahan Desa.
Dengan demikian, jika menggunakan perspektif desa,
maka pemerintahan desa adalah pemerintahan yang lain,
yakni sebagai masyarakat berpemerintahan (self governing
community), yang mengacu pada UUD 1945 Pasal 18 B ayat
2 serta asas rekognisi dan subsidiaritas dalam UU Desa. Desa
sebagai self governing community sangat berbeda dengan
pemerintahan formal, pemerintahan umum maupun pemer-
intahan daerah dalam hal kewenangan, struktur dan perang-
kat desa, serta tatakelola pemerintahan desa. Sesuai dengan
asas rekognisi dan subsidiaritas, desa memiliki kewenangan
berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala
desa, yang tentu sangat berbeda dengan kewenangan pe-
merintah daerah. Dalam hal tatapemerintahan, desa memi-
liki musyawarah desa, sebagai sebuah wadah kolektif antara
pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga
48 REGULASI BARU,DESA BARU

