Page 234 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 234

merupakan mahar yang sudah menjadi milik Irewa untuk diusahakannya sebagai

                        mata pencaharian bagi kehidupan berumah tangganya bersama Malom.
                             Jika  ditinjau  dari  sudut  pandang  feminisme,  kehidupan  Irewa  sangat

                        dipengaruhi  oleh  berbagai  pesoalan  ketidakadilan  gender.  Ketidakadilan  gender

                        yang dialminya termanifestasikan ke dalam bentuk kekerasan gender, subordinasi
                        gender, pelabelan (sterotipe) gender, dan beban kerja yang lebih banyak (Fakih,

                        2013). Penggambaran tentang kekerasn gender dan praktek-praktek dari budaya
                        patriarki  dalam  novel  ini  menjadikan  Dorothea  Rosa  dikategorikan  sebagai

                        pengarang  beraliran  feminis  radikal  (Djajanegara,  2003).  Adapun  upaya-upaya

                        penentangan Irewa terhadap ketidakadilan gender adalah dengan cara melupakan
                        segala  kesedihan  dan  kepedihan  dengan  keyakinannya  mencoba  membangun

                        eksistensi  diri  dalam  masyarakat  pegunang  Megafu  dan  Distrik  Yar.  Dalam
                        eksistensinya, Irewa terus berjuang dengan berdagang utnuk membesarkan anak-

                        anaknya,  sekaligus  mendapat  kepercayaan  menjadi  penyuluh  kesehatan  bagi
                        penganggulangn HIV AIDS masyarakat Distrik Yar. Atas penggambaran eksistensi

                        Irewa dalam cerita novel ini, maka Dorothea Rosa juga dapat dikategorikan sebagai

                        pengarang beraliran eskistensialis (Simone de Beauvoir).
                             Novel Isinga: Roman Papua sangat tepat dikaji dengan kritik sastra feminis

                        ideologis,  karena  kritik  jenis  ini  mengetengahkan  tentang  ketidakadilan  gender
                        perempuan,  budaya  patriarkhi,  dan  mengungkap  tentang  citra  tokoh  perempuan

                        dalam cerita novel ini (Djajanegara, 2003). Novel ini dapat dikaji pula dengan kritik

                        feminis transformasi gender (Fakih, 2013) jika dalam peperngan antara suku Aitubu
                        dengan suku Hobone terselip serangan tembakan peluru membabi buta dari polisi

                        keamanan setempat terhadap kedua suku itu. Dalam hal ini, banyaknya korban yang
                        berjatuhan sesungguhnya bukan dari peperangan antar suku, namun dari tembakan-

                        tembakan yang diarahkan kepada masyarakat kedua suku yang tengah berperang.

                             Jika  ditinjau  dengan  ginokritik  (Showalter,  1981),  novel  Isinga:  Roman
                        Papua  ditulis  pengarang  perempuan  dengan  menceritakan  tokoh  perempuan

                        sebagai tokoh sentral. Beberapa kejadian yang dialami Irewa, sebagai tokoh utama
                        dalam novel ini, ditulis oleh Dorothea Rosa melalui cara pengungkapan psikologis







                                                                                                    228
   229   230   231   232   233   234   235   236   237   238   239