Page 24 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 24
yang berupaya memperjuangkan hak-hak kaumnya dalam tatanan sosial, dan
mengupayakan persamaan kedudukannya dengan kaum laki-laki di berbagai
bidang. Sebagaimana menurut Walters (2005), “Over the centuries, and in many
different countries, women have spoken out for their sex, and articulated, in
different ways, their complaints, their needs, and their hopes” [“Selama berabad-
abad dan di banyak negara yang berbeda, wanita telah bersuara untuk jenis kelamin
mereka, dan mengartikannya dengan jalan yang berbeda, seperti keluhan mereka,
kebutuhan mereka, dan harapan mereka”].
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka feminisme dapat disimpulkan
sebagai sebuah ideologi yang disebabkan adanya dominasi laki-laki atas perempuan
dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk adanya tekanan-tekanan terhadap
perempuan oleh budaya patriarki. Ratna (Sujarwa, 2019, hlm. 188) menyatakan
bahwa, “dalam arti luas feminisme adalah gerakan wanita untuk menolak segala
sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh
kebudayaan yang dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun pada
kehidupan sosial pada umumnya.
Melihat perkembangan sejarah feminisme dalam karya sastra, kaum
perempuan termasuk para pengarang maupun pembacanya selalu menganggap ada
yang keliru di dalam diri mereka sebagai perempuan. Mereka merasa ada suatu
pengekangan, pelemahan, dan subordinasi di dalam berbagai hal. Sebagaimana
pandangan Aristotels tentang perempuan dengan segala kekurangan dalam kualitas-
kualitas tertentu yang juga diperkuat pernyataan dari St. Thomas Aquinas yang
diyakininya bahwa perempuan sebagai wujud laki-laki yang tidak sempurna.
Memang sempat disinggung oleh Donne dalam ’Air and Angles’ tentang teori
Aquinas itu bahwa bentuk adalah laki-laki dan masalah adalah perempuan:
sehingga dapat diartikan bahwa pikiran milik laki-laki yang unggul seperti dewa,
sedangkan masalah adalah milik perempuan yang membuatnya menjadi tidak
berdaya dan lemah. Pernyatan-pernyataan itu telah menimbulkan polemik tak
berkesudahan antara para pemikir perempuan dengan para pemikir laki-laki.
Ditambah dengan teori Freud tentang ‘Kecemburuan Zakar’ yang membuat para
18