Page 135 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 135
Setelah memastikan anak-anak masih pulas, Rudi menyusul
mertuanya duduk di depan rumah sambil merokok. Desiran angin pantai
cukup menusuk tulang. Tetapi bagi Rudi dan Daud angin pantai tidak
terlalu menganggu mereka berdua. Mereka sudah terbiasa bersahabat
dengan angin laut malam. Gulungan asap rokok menebal di udara
membuat lapisan-lapisan berwarna abu-abu yang perlahan menipis
tertiup angin.
Daud tampak menikmati rokoknya. Tatapan matanya melihat
jauh ke tengah laut, tempat hampir seumur hidupnya ia mengadu nasib.
Hening. Tidak ada suara sama sekali kecuali sayup-sayup terdengar lagu
natal yang masih di putar di rumah tetangga.
Beberapa kali Rudi terbatuk-batuk kecil saat menghirup asap
rokoknya. Tak ada yang berniat untuk mengajak bicara. Hubungan Daud
dengan menantunya tidak terlalu buruk tetapi juga tidak akrab. Mereka
jarang bicara kecuali bicara tentang hasil tangkapan ikan dan seputar
permasalahan perjuangan kelompok nelayan. Selama ini Daud selalu
bicara pada saat mereka ada pertemuan kelompok nelayan. Jarang
sekali bahkan hampir tidak pernah Daud berbicara dengan menantunya
saat berduaan.
“Hasil melautnya baguskah?” tanya Daud memecah kesunyian.
Rudi menghembuskan asap rokok membentuk gulungan-
gulungan besar.
“Lumayanlah. Paling tidak bisa pulang dengan membawa ikan,”
kata Rudi.
“Syukurlah,” kata Daud pelan, nyaris suaranya seperti hembusan
angin.
“Papa sendiri bagaimana?”
“Akhir-akhir ini hasil tangkapan kita tidak terlalu bagus. Pulang
pagi tidak bisa membawa ikan yang cukup. “
“Kita dengar khabar di bagian laut agak ke barat banyak ikan. Ada
beberapa nelayan Karang Ria yang mencari ikan ke sana. Dapat banyak.”
“Ya pakai perahu besar. Kita tidak bisa menyewa perahu besar,
Rud.”
“Tak ada nelayan yang mau joint sewa perahu?”
Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com 135