Page 201 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 201
18
Bisikan Ombak Menjauh
Angin berhembus kencang menebarkan hawa dingin. Langit
berwarna kelabu. Matahari enggan menampakkan sinarnya, tertutup
awan. Kicauan burung yang biasanya riang menyambut fajar seakan
hilang ditelan pagi. Daun-daun selalu basah dan lembab terguyur
air hujan. Tanah basah, dibeberapa tempat tampak becek dan penuh
genangan air. Hujan turun hampir setiap hari tidak mengenal pagi, siang,
sore dan malam. Langit sepertinya senang bersukaria dengan hujan dan
angin. Tak ada kehangatan.
Januari saat hujan turun sehari-hari. Sulit untuk mencari hari-hari
yang berlalu tanpa hujan. Meskipun perubahan cuaca sempat membuat
musim kacau. Meskipun musim kemarau dan penghujan tidak lagi bisa
dipastikan, tetapi alam tetap menunjukan kuasanya. Hujan menjadi
santapan sehari-hari tidak mengenal waktu.
Sutriani memandang langit yang tidak cukup bersahabat. Hujan
pasti akan turun, batinnya. Ia merasakan hawa dingin terus merasuk
kulitnya. Jaket tebalnya tidak cukup untuk mengusir rasa dingin. Semilir
angin menampar-nampar mukanya.
Sutriani tidak peduli dengan dinginnya pagi. Pandangan matanya terus
memandang ke laut lepas. Tidak pernah lelah mencari titik hitam dari
kejauhan yang akan segera merapat ke pantai.
Beberapa perempuan tampak bersukacita diselingi gelak tawa
dan canda menunggu suami mereka pulang. Dan saat satu persatu
ketiting terlihat meluncur tenang menuju pantai, para istri terlihat
semakin cerah. Dengan cekatan mereka menyambut kedatangan suami,
membantu menurunkan ikan dan membawa peralatan mencari ikan.
Wajah letih para suami terhapus saat melihat tawa para istri
yang menyambutnya dengan sukacita. Tidak terlihat gurat keletihan
ketika para suami ikut tertawa dan bercanda dengan istri. Ucapan syukur
terlihat dari cara mereka menghargai hasil jerih payah suami menentang
maut semalaman di tengah laut.
Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com 201