Page 197 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 197
Daud menerima semua keputusan rapat tanpa banyak komentar.
Baginya sudah cukup lega karena sudah mengakui perbuatannya dan
dimaafkan. Ia berjanji akan bekerja lebih keras lagi agar bisa membayar
hutangnya.
**
Menjelang tengah malam, Daud pergi melaut setelah
menceritakan semua keputusan rapat kepada istrinya. Larangan Sutriani
agar mengurungkan niat untuk pergi tidak menyurutkan langkah
kakinya. Daud bersikeras untuk pergi. Banyak tanggungan hutang yang
harus dipertanggungjawabkan, begitu jawabnya.
“Tapi, Pa? Firasat Mama tidak enak. Langit mendung tebal,
tanda-tanda hujan akan tiba. Bukankah lebih baik tidak melaut?” kata
Sutriani penuh khawatir.
Daud hanya memandang langit sekilas mata. Ia merasa tidak
perlu lagi khawatir badai akan datang. Setidaknya kali ini Daud merasa
semua akan baik-baik saja. Toh selama puluhan tahun ia mengarungi
lautan tanpa ada kendala berarti. Kalaupun ia pernah mengalami
musibah itu sudah resiko seorang nelayan seperti dirinya. Bukankah
nelayan bersahabat dengan laut? Lantas kenapa perlu takut?
“Pa?” tegur Sutriani melihat suaminya hanya diam tidak
bergeming.
“Tidak mengapa. Sudah biasa. Mudah-mudahan malam ini
pulang membawa ikan melimpah. Cicilan hutang menjadi kewajiban
kita. Doakan saja semua baik-baik saja.” Kata Daud tanpa mengindahkan
tatapan khawatir istrinya. Ia bertekad bulat untuk melaut malam ini,
apapun yang terjadi.
Sutriani hanya bisa terdiam melihat suaminya bersikeras melaut.
Rasa tanggungjawab dan beban membayar hutang membuat Daud
terlalu bersemangat. Tanda alam yang biasanya ia perhatikan, kali ini
sama sekali tidak mempengaruhi niatnya untuk pergi.
Dalam keadaan tertekan, Daud melaut tanpa memperdulikan
tanda-tanda alam. Mendung mulai menebal, badai bersiap turun.***
Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com 197