Page 259 - RBDCNeat
P. 259

pesimis seketika menghinggapi diri ini. Namun, lomba harus
              tetap dilanjutkan. Aku mendapat giliran kedua untuk tampil
              di hadapan juri. Peserta pertama maju untuk membacakan
              puisinya. Cara membacakannya sangat bagus karena puisinya
              dibawakan dengan suara yang lantang dan jelas. Akhirnya
              namaku dipanggil untuk membacakan puisi. Dengan membaca
              bismillah aku mulai menyapa para juri dan penonton.

                  Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
                  Damai Itu Indah
                  Karya Dini Lestari
                  Damai,
                  Di manakah damai itu?
                  Ke mana lagi aku harus mencari
                  yang namanya damai itu indah?
                  Apakah damai masih ada di dunia ini?
                  Kita lihat,
                  Saudara-saudara kita di Palestina sana
                  Mereka jauh dari perdamaian dan keindahan
                  Apakah itu yang disebut masih adanya kedamaian?
                  Lalu, kemana lagi aku harus mencari?



                  Puisi tersebut aku bacakan dengan terbata-bata karena
              memang inilah cara berbicaraku. Selama membacakan puisi Bu
              Lilis terus mendampingiku. Melihat aku yang harus bersaing
              dengan yang tuna netra, Kepala Sekolahku berkomentar, “Ini
              tidak adil karena ini (Dini) untuk berbicara saja susah, tapi

              saingannya bisa berbicara dengan lantang.” Tapi ya mau
              bagaimana lagi, memang seperti itulah peraturannya.


                                            Roda Berputar dalam Cahaya | 223
   254   255   256   257   258   259   260   261   262   263   264