Page 95 - RBDCNeat
P. 95
Setiap hari aku mengaji ditemani Eni karena teman-
teman lain tidak mau bergaul denganku. Bagi mereka
mungkin aku dianggapnya hanya sebagai anak cacat. Mereka
melihat dan memandangiku dengan tatapan “aneh” tanpa
mau bersentuhan dan bergaul bersamaku. Eni satu-satunya
teman yang selalu setia mendampingi dan menemaniku.
Satu hal yang aku sayangkan, pihak madrasah pun
seolah-olah tidak peduli dengan kondisiku. Mereka tidak
berusaha memberi pengertian kepada santri-santri lain
agar memperlakukanku “biasa-biasa saja” seperti teman-
teman lain, tidak menganggapku “aneh” dan mengasingkanku
karena aku juga sama seperti mereka. Hal itu tidak pernah aku
dapatkan selama aku mengaji di sana. Kepala Madrasahnya
malah ikut membedakanku.
Waktu itu aku tidak bisa menulis huruf Arab karena
aku memang tidak pernah belajar menulis huruf Arab. Lalu,
aku hanya diberi pelajaran untuk anak TK padahal usiaku
sudah 10 tahun. Aku ingin mendapatkan pelajaran yang
sesuai kemampuanku dan selayaknya diberikan kepada
anak seusiaku, tapi mengapa mereka seolah merendahkan
kemampuanku?
Selama aku mengaji di madrasah, aku sering mengalami
kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan. Seperti saat mau
pulang, entah kenapa tiba-tiba aku terjatuh di dekat pintu
keluar. Lalu, aku mendengar Kepala Madrasah berkata kepada
guru lain, “Budak eta labuh wae.” 34
34
Anak itu jatuh terus.
Roda Berputar dalam Cahaya | 59