Page 53 - Tiga ksatria dari Dagho
P. 53

karena  sebelumnya  Wanggia  dan  Panggelawang  telah
            memasang tempuling, tombak khas masyarakat Sangihe,
            di bawah jembatan. Kedua raksasa itu akhirnya tertikam
            tempuling.

                    Lalu, berkatalah kedua raksasa itu kepada Wanggaia

            dan  Panggelawang,  ”Darah  kami  berdua  akan  menjadi
            banjir  api,  napas kami  akan  menjadi  angin  puyuh,  dan
            daging kami akan menjadi abu. Kalau kalian mandi dan
            mencuci di sungai, kalian akan menjadi buaya.”

                    Setelah mendengar perkataan raksasa itu, Wanggaia

            dan Panggelangan berkata kepada raksasa itu, ”Baiklah!
            Kalau kamu berdua menjadi banjir api, angin puyuh, dan
            abu, kami berdua pun akan  duduk di mata angin timur
            untuk menolong anak cucu kami berdua.”

                    Kedua  raksasa  itu  mengembuskan  napasnya
            yang  terakhir.  Wanggaia  dan  kedua  adiknya  kembali  ke

            rumahnya. Demikian pula orang-orang yang ditawan oleh
            raksasa itu.

                    Kehidupan  di  Talaud  kembali  tenang.  Wanggaia
            dan Panggelawang kini menetap di lereng puncak Gunung
            Sinambung. Adiknya, Niabai, dipinang oleh pria asal Negeri

            Bowongnaru  dan  kini  menetap di  sana.  Ketenangan itu
            tidak berlangsung lama. Suatu ketika ada peristiwa yang
            menggemparkan masyarakat Sangihe. Ketika itu ada dua

            orang Sahinge yang hendak pulang dari Mindanau, Filipina




                                         46
   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58