Page 116 - USHUL FIKIH_INDONESIA_MAPK_KELAS XII_KSKK
P. 116
B. Tujuan Ittiba’
Dengan adanya Ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang
awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan, tanpa
diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh
keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan
merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
C. Kedudukan Ittiba’ dalam Islam
Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam
Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan
disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal.
Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:
1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.
2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga
perkara: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan
mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari
ikhlas karena Allah swt semata dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal
itu akan diterima oleh Allah swt. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat
tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang
sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja
dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka
mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya baik."
Kedua,Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan
Rasul-Nya. Allah swt berfirman:
ُ
ُ
َ
َّ
َ ٣١ َ مي ِ ح ََّ رٌَ روُفَغَُ َّ لِلٱوََمُكَبوُنذَمُكلَ ْ رِفْغَيوَُ َّ لِلٱَمُكْببْحُيَىِنوُعبَّتٱَفََلِلٱََنوُْب ِ حُتَمُتنُكَنإَْلق
َ ْ
ْ
ٌ
ْ
ِ
ِ
ُ ِ
َ
Artinya: "Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah swt mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran[3]: 31).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini
sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt, akan tetapi tidak
mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam
USHUL FIKIH - KELAS XII 107