Page 119 - USHUL FIKIH_INDONESIA_MAPK_KELAS XII_KSKK
P. 119

bahwa bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap

                   nash-nash  dan  mengistinbatkan hukum dari  nash-nash tersebut, tidak  layak  mengikuti
                   pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Akan tetapi bagi orangorang yang

                   tidak  mampu  meneliti  nash-nash  tersebut,  maka  ia  dianjurkan  mengikuti  apa  yang
                   disampaikan oleh mujtahid, tentunya dengan mengentahui dasar dari pendapat mujtahid

                   tersebut.


               F.  Kepada siapa harus Ittiba’

                          Dari  penjelasan  diatas  bisa  kita  simpulkan  bahwa  yang  berhak  kita  berittiba‟
                   kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal

                   ini Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Allah

                   swt berfirman;
                                               ۡ
                                          ۡ
                                                                  ۡ ّ ٌ
                                                                               ُ
                                                                                                 َ
                                                                                                         َ
                  ٢١  ا ً ر َ ۡيِثَكَ َ َ ه اللَّرَكَذوَر ِ خلَّاَم ۡ وَيلاوََ ه اللَّاوُج ۡ رَيََناَكَنمِلَةَنَس َحٌَةوۡساَِ ه اللَّ ِل ۡ وُسرَ ۡ ىِفَ ۡ مُكلََناَكَ ۡدَقل
                               َ
                                   َ َ
                                                                                         َ
                                                                   َ
                                           َ
                                                                             َ
                                                َ
                          Artinya: "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik.,
                   (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan
                   dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab[33]:21).
                          Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
                                                           ۟
                                                                                   ُ
                                                                  ُ
                                                          ۚ
                                                         ََاوُهَتنٱَفَهْنَعَمُك ىهَنَاموَُهوذُخَفَُلوُس َّرلٱَمُك ىَتاءَ امو
                                                                       ْ َ
                                                                             َ َ
                                                                                                ُ
                                                                                                    َ َ َ
                          Artinya: “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
                   yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr[59]: 7).
                          Imam  Ahmad  bin  Hanbal  menyatakan:  Ittiba’  adalah  seseorang  mengikuti  apa
                   yang datang dari Rasulullah saw dan para shahabatnya. Ittiba’ kepada Nabi saw dalam
                   keyakinan  akan  terwujud  dengan  meyakini  apa  yang  diyakini  oleh  Nabi  saw  sesuai
                   dengan  bagaimana  beliau  meyakininya  –  apakah  merupakan  kewajiban,  kebid’ahan
                   ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak

                   kesempurnaannya dst – dengan alasan karena beliau saw meyakininya.
                          Ittiba’  kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan  melaksanakan

                   kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz
                   dan nashnya saja. Sebagai contoh sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Malik bin Al-

                   Huwaris dalam Kitab Al-Fathu Al-Rabbani:
                                                 ُ
                                                          َ
                                              ّ
                                                                   ُْ
                                            َ.يِلصأَيِن ْ وُمُتْيأرَامَكَا ْ ولصَ:ملسوَهيلعَاللهَىلصَاللهَلوسرَلاق
                                               َ
                                                                    َ
                                                           َ َ
                                                   ْ
                                                                          USHUL FIKIH  -  KELAS XII 110
   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123   124