Page 69 - LITERASI-BUKU-SEBAGAI-SARANA-MENUMBUHKAN-KEPRIBADIAN-PESERTA-DIDIK-YANG-UNGGUL
P. 69
55
Meskipun begitu, persepsi diri bahwa saya literat terusik
justru ketika saya menekuni bidang Literature dalam studi
Master saya di Amerika Serikat. Saya kira saya cukup mampu
memahami sastra dalam Bahasa Inggris. Setidaknya modal
pengetahuan yang saya peroleh dari studi Magister dalam
bidang Pengkajian Amerika di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta saya anggap cukup memberikan bekal. Ternyata
saya salah. Saya pontang-panting membaca novel-novel yang
ROSDA
ditugaskan pada kami. Setiap mata kuliah mensyaratkan
mahasiswanya untuk tuntas membaca satu novel atau drama
dalam satu minggu. Padahal ada 3 mata kuliah yang saya ambil
dalam satu semester. Hal ini diperparah lagi dengan ‘posisi’
saya sebagai satu-satunya mahasiswa internasional di kelas
yang hanya berisi 10-15 mahasiswa. Bila teman-teman saya
mungkin cukup membaca karya sastra yang ditugaskan 1-2 kali
saja, saya harus membaca minimal lima kali untuk memahami
isi dan konteks budayanya.
Demi memahami karya sastra klasik yang bahasanya
cukup rumit, saya menghabiskan hampir seluruh waktu saya
untuk menyelusuri rak-rak perpustakaan kampus untuk
membaca puluhan referensi, menonton versi video VHS drama
Shakespeare, dan tahan berjam-jam di depan komputer kampus
untuk mencari artikel di jurnal ilmiah. Saya lakukan strategi ini
agar saya bisa menjadi bagian aktif dalam diskusi-diskusi di
kelas. Entah berapa kali saya harus kalah cepat mengacungkan
tangan untuk melontarkan ide atau jawaban saya. Mungkin
karena acungan tangan saya kurang tinggi, atau bisa jadi
karena saya sebenarnya merasa inferior. Jujur, saya merasa
termarginalkan.