Page 67 - LITERASI-BUKU-SEBAGAI-SARANA-MENUMBUHKAN-KEPRIBADIAN-PESERTA-DIDIK-YANG-UNGGUL
P. 67
53
Tunjungan. Saya dilepas saja di situ. Jongkok sambil membaca
beberapa komik atau cerita rakyat sampai habis. Dongeng
epik Ramayana dan Mahabarata lebih banyak saya nikmati
dari hasil nongkrong berjam-jam di toko buku. Baru setelah
itu Bapak meminta saya untuk memilih 1-2 buku untuk dibeli.
Rutinitas ke toko buku itu di luar acara nonton film silat atau
koboi dan nonton bola di Gelora 10 November di Tambaksari,
Surabaya. Ya, anak-anak perempuan bapak juga penggila bola
ROSDA
dulu.
Ibu saya menegaskan cinta saya terhadap sastra tanpa
disadari melalui dongeng sebelum tidur. Kasur kapuk tempat
kami berlima saudara istirahat seperti pindang berjajar menjadi
saksi lelapnya tidur kami, yang dialun oleh frasa “pada suatu
hari” atau “ing sakwijining dino.” Cerita-cerita Bawang Putih,
Timun Mas, dan Buto Ijo sudah saya kenal melalui naratif lisan
dari ibu. Baru setelah saya mulai mengoleksi buku cerita, saya
kemudian menemukan versi tulisnya.
Seingat saya, hampir tidak ada koleksi mainan di rumah
masa kecil saya. Kalaupun ada, mungkin itu dibeli saat ada
keramaian Mauludan di pasar Wonokromo. Tapi saya cukup
bangga punya banyak koleksi buku. Saat kelas 4 atau 5 SD
dulu kalau tidak salah, saya ingat sudah membuat daftar judul
buku dan pengarangnya. Jumlahnya ada sekitar 50-an judul.
Juga setumpukan majalah langganan Bobo. Buku-buku pribadi
itu melengkapi daftar panjang buku komik silat atau cerita
rakyat yang saya pinjam dari kios persewaan komik dekat
rumah. Saat SMP, saya suka mencuri baca cerita serial Api di
Bukit Menoreh karya SH Mintarja yang rutin dipinjam bapak
dari persewaan komik di kawasan Ngagel Rejo. Saya sering