Page 118 - Toponim Magelang_Final
P. 118
Toponim Kota Magelang 105
itu disyukuri oleh masyarakat Magelang sebagai anugerah Tuhan, karena diselamatkan
dari bencana kekeringan. Bahkan, timbul pemahaman klasik bahwa air bukan unsur
sembarangan dalam hidup.
Air yang mudal ini menggiring pada kesadaran diri bahwa begitu sakral masyarakat Jawa
klasik memandang air sehingga melahirkan istilah banyu panguripan. Sementara dalam
dunia Barat, air disebut fons vitae (sumber hidup), dan penduduk Yunani menyebut
nectar (minuman para dewa). Demi membuktikan vitalnya banyu panguripan dalam
jagad Jawa, bisa diendus dari aneka istilah yang ada. Semisal, tirta, tirta kamandalu, tirta
nirmala, toya pawira, toya marta, banyu mahapawitra, dan banyu bening pawitra sari.
Masyarakat Magelang yang hobi menikmati pertunjukan wayang tentunya pernah
mendengar sang dalang bilang dalam janturan jejer: ”...lenggak-lenggok lampahing toya
ingkang mijil saking sendang-sendang wening, tirtane pinara-para playune tinampi wadhuk
binendung-nendung kinarya angileni sawah myang pategalaning narakisma.” Terjemahan
bebasnya: “...berkelok-kelok air mengalir keluar dari mata air yang jernih, airnya
dibagi-bagi dimasukkan ke waduk-waduk untuk digunakan mengairi sawah dan ladang
para petani.”
Filolog termasyur yang dimiliki bangsa Indonesia, Poerbatjaraka (1940), ikut memberi
perhatian terhadap pengetahuan lokal mengenai air sebagai “air penghidupan” yang
termahtub dalam cerita Samudra Manthana. Dan, lumayan akrab di kuping orang-orang
sepuh di telatah Jawa. Dikisahkan, suatu ketika para dewa bersama para daitya berupaya
mencari tirta amrta (air penghidupan) dengan cara mengaduk lautan susu (ksirarnawa)
yang dalam.
Peneliti budaya Jawa, Woro Aryandini (2002) mengutip Buku Nawaruci,
menginformasikan perjuangan Bima mencari air penghidupan alias tirtha kamandalu,
banu mahapawitra, atau sang hyang amrtnjiwani. Dalam Manikmaya disebut toyadi marta
hyan kamandalu, yaitu air yang diminum para dewa sehingga dijauhi kematian. Sekali
lagi, toponim Kampung Mudal bukan hanya membuktikan melimpahnya sumber daya
air yang besar tak pernah berhenti (mudal-mudal) di Magelang, namun juga membawa
pesan bagi manusia dalam memperlakukan air sebagai anugerah Tuhan tak terperi. 68
Sejarah, FIB: UGM Yogyakarta, 2014).
68 Baca Woro Aryandini. Wayang dan Lingkungan. (Jakarta: Penerbit UI, 2002).