Page 132 - Toponim Magelang_Final
P. 132

Toponim Kota Magelang    119












                      menginspirasi untuk menyebut daerah itu dengan nama  “ngentak” tanpa perlu
                      perulangan kata agar lebih praktis.

                      Di Magelang, tanah pertanian terbagi menjadi sawah dan tanah kering. Luas sawah
                      menurun sebesar 0,2%, dari pengukuran lama 6.562 bahu dan pengukuran baru 6.550
                      bahu periode 1909. Hal ini berbeda dengan tahun 1919, sawah meningkat 1%, dari
                      data lama seluas 6.745 bahu dan data baru 6.817. Lain halnya untuk tanah kering. Era
                      1909, luas tanah kering meningkat sebesar 35,7% dari data lama seluas 3.581 bahu dan
                      data baru seluas 4.861 bahu.167 Pada tahun 1919 justru luas tanah kering berkurang
                      luas 4%, dari data lama seluas 4.489 bahu dan data baru 4.331 bahu. 82


                      Pada tahun 1920, Kota Magelang mempunyai luas 162.804 bahu. Luas tanah pertanian
                      rakyat tahun 1920, luasnya 133.345 bahu, maka terdapat 81,91% dari luas daerah.
                      Luas sawahnya 58,677 bahu dengan 44% dari luas daerah pertanian. Tanah keringnya
                      74.668 bahu dengan 56% luas tanah pertanian. Rata-rata luas tanah pertanian untuk
                      setiap penduduk per bahu adalah 0,23 dengan 0,10 sawah dan 0,13 lahan kering.

                      Dari paparan di atas, terbukti wilayah Magelang memang tak seluruhnya subur dan
                      bisa ditanami  tetumbuhan untuk keperluan konsumsi maupun  sekadar  peneduh
                      alam. Kampung Ngentak merupakan fakta pengecualian dari kenyataan Magelang
                      yang sohor sebagai kawasan hijau nan sejuk sejak era Mataram kuno. Demikian pula
                      warga setempat di masa silam tidak selalu dapat mengolah lahan gersang itu dengan
                      maksimal. Dari pendekatan ilmiah, S. Minardi (2016) dalam pidato pengukuhan ilmu
                      tanah menegaskan bahwa umumnya lahan kering punya tingkat kesuburan tanah yang
                      rendah, terutama pada tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis
                      dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini kian diperburuk dengan terbatasnya
                      pemakaian pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim.
                                                                                 83

                      Erosi ialah salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan  kering, terutama
                      yang dimanfaatkan untuk usaha  tani tanaman  semusim seperti tanaman  pangan.
                      Pertanian lahan kering tidak memerlukan banyak air, seperti halnya budi daya padi
                      sawah, sementara ketersediaan lahan kering masih luas. Secara umum sistem pertanian

                      82  Arsip Kolonial Verslag tahun 1909.

                      83  S. Minardi, 2016. “Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian Tanaman
                      Pangan”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Tanah (Pengelolaan Tanah) pada
                      Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6 April 2016.
   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136   137