Page 136 - Toponim Magelang_Final
P. 136
Toponim Kota Magelang 123
Dari seluruh paparan toponim di atas yang berdasarkan pendekatan analogi, perlu diberi
catatan penutup. Pendekatan analogi dalam membahas tentang toponimi tidak hanya
memberikan gambaran tentang asal-usul nama tempat itu berdasarkan pemaknaan kata,
tetapi juga dapat menempatkan lokasi tersebut dalam konteks struktural kewilayahan
pada masa kemunculannya. Di antaranya nama-nama itu dapat diletakkan pada konteks
keterkaitannya dengan struktur politis morfologis yang dibentuk sebagai akibat dari
sistem administrasi sosial yang berlaku kala itu.
Di Magelang, hal ini tampak jelas terjadi dengan adanya penataan perkampungan
yang memancarkan sistem kekuasaan di masa lalu, saat perkampungan atau jalan
yang disebutkan di atas mulai muncul. Keberadaan mereka sukar dilepaskan dengan
perkembangan sistem administratif dan politik yang dominan di kota ini.
Kota Magelang saat dijadikan pusat pemerintahan kolonial sekaligus birokrasi pribumi
dengan bupati sebagai pucuk pimpinannya, orientasi tata ruang dalam konteks morfologi
tetap tidak bergeser dari model lama. Bukan rumah atau kantor residen yang berada
di tepi aliran Sungai Elo, melainkan rumah dan kantor bupati yang berada di alun-
alun sebagai sentral orientasinya. Ini terbukti dengan sejumlah kampung yang masih
menunjukkan afiliasi ruang seperti Juritan, Jaranan, Kebon Dalem, Potrobangsan,
Kliwonan, dan Magersari.
Fenomena itu memunculkan tafsir historis bahwa perkampungan tersebut sudah ada
sebelum sistem kolonial diterapkan di Magelang dan Karesidenan Kedu, tahun 1812.
Saat kota berada di bawah kekuasaan raja Jawa khususnya di Yogyakarta, bupati tetap
tinggal di alun-alun yang merupakan sentra pemerintahan daerah sebagai prototype dari
raja. Layaknya kuthogoro di pusat kerajaan Jawa, alun-alun dikelilingi lingkaran kekuasaan
memuat simbol tata ruang. Nama para pejabat atau fungsionaris yang bermukim paling
dekat alun-alun adalah mereka yang berelasi langsung dengan operasional kekuasaan.
Dengan demikian, Kampung Juritan, Jaranan, Kliwonan, Potrobangsan dan beberapa
nama kampung yang berasal dari nama pejabatnya, memiliki akses langsung ke alun-
alun. Beda dengan Magersari yang dalam struktur sosial kerajaan Jawa adalah kelompok
warga biasa yang mengabdi, tinggal jauh dari sentra kekuasaan.
Ciri kedua dari fenomena itu ialah kehadiran Kampung Kebon Dalem yang juga
berafiliasi langsung dengan bupati sebagai lahan pemasok bulu bekti yang menjadi sumber
penghidupan. Sistem ini berlaku di era sebelum aplikasi birokrasi kolonial, karena sejak