Page 194 - Toponim Magelang_Final
P. 194

Toponim Kota Magelang    181












                      pagar saban Sadranan itu berhenti.  Banyak warga Kampung Dudan memanfaatkan
                                                     135
                      acara Sadranan Mbah Kyai Duda sebagai momen mudik atau pulang kampung. Bahkan,
                      kondisi kampung saat Sadranan lebih ramai ketimbang saat Lebaran tiba.

                      Dalam tradisi pedesaan Jawa, terdapat fenomena patron clien atau paran poro yang
                      menjadi rujukan bagi warga dalam  mengambil keputusan dan bertindak. Warga
                      bertindak secara kolektif ada kalanya tidak melalui rembug desa atau tergantung pada
                      kepemimpinan formal yang dibentuk oleh kerajaan atau birokrasi kolonial, melainkan
                      tokoh informal. Demikian pula dalam  fakta sejarah Kyai Duda yang menyiratkan
                      semangat spiritual masyarakat pedesaan Magelang yang sangat kental dibungkus oleh
                      nilai-nilai  kosmogoni lokal. Selain tokoh Kyai Duda, di kampung ini terdapat tiga
                      sesepuh yang diyakini sebagai kakek moyang, yakni Mbah Simo, Mbah Soleham, dan
                      Mbah Tulus.  Kendati ketiga sesepuh ini dipercaya sebagai leluhur Kampung Dudan,
                                 136
                      namun tidak ditemukan tiga makam tokoh tersebut, hanya cukup dirawat dalam ingatan
                      kolektif masyakarat.


                      Orang Jawa sering menyebut sebagai tradisi nguri-uri naluri leluhur. Kepemimpinan
                      nonformal desa seperti dukun atau orang yang dituakan di desa, biasanya difungsikan
                      oleh masyarakat desa sebagai pusat rujukan (paran poro) untuk mengatasi permasalahan
                      yang  muncul dalam  wacana  disharmoOrang  Jawa  sering menyebut sebagai tradisi
                      nguri-uri naluri leluhur. Kepemimpinan  nonformal  desa seperti dukun  atau  orang
                      yang dituakan di desa, biasanya difungsikan oleh masyarakat desa sebagai pusat rujukan
                      (paran poro) untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam wacana disharmoni
                      warganya. Misalnya, muncul masalah  perkawinan, khitanan, mendirikan rumah,
                      kelahiran, kematian, dan masalah yang dipercaya sebagai pageblug atau lampor. 137

                      Fenomena budaya demokrasi desa dalam dimensi sejarah hampir tidak tersentuh oleh
                      pengaruh primordialisme feodal maupun kolonial, karena keberadaan mereka terisolasi
                      oleh tradisi besar feodalisme keraton dan kolonialisme Belanda. Isolasi fungsional bagi
                      kantung-kantung bumi perdikan desa di era kerajaan adalah munculnya peran kyai,
                      dukun, atau perbekelan yang menjadi fasilitator kepentingan raja dan kaum bangsawan


                      135  Wawancara dengan Bapak Man, (3 Maret 2018. Jam 15.15 sd 16.02).

                      136  Wawancara dengan Bapak Priyatno, (3 Maret 2018. Jam 14.40 sd 15.03)
                      137  Soedarmono. “Budaya Demokrasi di Desa”, dalam Kompas, 3 Agustus 2002.
   189   190   191   192   193   194   195   196   197   198   199