Page 10 - ASPPUK_FellowshipJurnalistik
P. 10
Pada Februari yang seharusnya menjadi pakan jauh-jauh. Namun, Luh Tu kukuh
musim berbuah dan berbunga, tiba-tiba meyakinkan suaminya.
justru turun hujan. Luh Tu kemudian harus
menanam lagi dan sebagian tanamannya “Itu teman-teman bisa? Kita punya sepeda,
bisa dipanen pada April dan Mei ini. bisa menggunakan sepeda itu. Orang lain
jalan kaki mencari makanan sapi,” jelas Luh
Hujan pada Februari, juga merangsang Tu menirukan permintaannya dulu.
rumput liar tumbuh di lahannya. Ia sempat
kewalahan tetapi berhasil membersihkannya Akhirnya Luh Tu bisa beternak sapi.
sambil sedikit panen. Awalnya, ia menjadi peternak penggarap.
Ia memelihara sapi milik orang lain hingga
Saat ini petani di Bukitsari juga sedang besar, dari situ ia mendapat pembagian
berjuang untuk mendapatkan SK pelepasan keuntungan.
lahan hutan yang saat ini menjadi area
bertani mereka. Waktu itu adalah momen tersulit bagi Luh
Tu dalam beternak. Sebab ia hanya peternak
penggarap yang mendapat keuntungan dari
pertumbuhan sapi itu saja. Jika tak berhasil
Beternak untuk Biaya Anak membuat produktif, maka penghasilannya
Sekolah akan kecil
Saat anak Luh Tu, Suweca beranjak Sejak 2003, Luh Tu memelihara sapi
besar dan akan masuk
bangku SMP tahun 2013.
Ia merayu suaminya agar
mempersiapkan biaya
sekolah. Sejak awal, ia sudah
mewanti-wanti suaminya
mencari penghasilan
tambahan.
“Kita ke sini tidak membawa
bekal, anak sudah semakin
besar, mari kita jadi peternak
penggarap. Beternak sapi
sejak anak masih SD, agar
saat masuk SMP, kita
punya bekal biaya sekolah,”
tuturnya kepada suaminya.
Keinginan Luh Tu beternak
sapi hampir ditolak.
Alasannya, perlu jalan jauh
untuk mendapatkan pakan
sapi. Saat itu suaminya
menunjuk pada peternak I Wayan Suweca, anak semata wayang Luh Putu Sariningsih menujukkan peta
pembagian lahan warga Bukitsari yang saat ini masih dalam perjuangan mendapatkan
lain yang harus mencari SK Pelepasan Hutan Negara. Foto: Juni
10 Fellowship Jurnalistik Perempuan, Bisnis Berkelanjutan dan Perubahan Iklim