Page 59 - E-Majalah Kriyasadana Edisi 4
P. 59

CERPEN









              Dulu, ada yang pernah berkata                        Merasakan dingin yang semakin
           padanya untuk tidak menyepelekan                     lama semakin erat memeluk dirinya.
           penyakit hati. Ah, lebih tepatnya tentang            Toh tidak ada bedannya jika ia
           perasaan.                                            memilih berlari, tubuhnya akan basah

                                                                kuyup dalam sekejap. Ketika memilih
               “Senan, jangan selalu diam ya?”                  untuk diam pun ia juga akan basah,
           suaranya yang lembut selalu mampu                    namun dalam jangka waktu yang
           merangsak masuk kedalam                              perlahan.

           pendengarannya dengan tempo waktu                       Dia ya memang dia, Juanda
           satu detik saja.                                     Senandika. Seorang keras kepala yang


               “Kalau sakit bilang, kalau kamu kecewa           selalu mendahulukan logika daripada
           bicarakan. Luapkan apa yang perlu                    perasaannya. Perasaannya sendiri
           diluapkan, mendam perasaanya sendiri                 saja sering ia abaikan, apalagi
           itu nggak enak,” tutur kata lembutnya itu,           perasaan milik orang lain. Dia tidak
           Senandika ingat betul. Raut berseri yang             pernah tahu, siapa saja dan seberapa

           selalu memujannya lewat tatapan.                     banyak orang yang sudah ia sakiti
                                                                karena sikapnya itu. Namun untuk
              Dulu, mungkin ia tidak mengerti                   saat ini, pemuda yang berumur dua

           sepenuhnya dengan kata-kata itu.                     puluh tahunan itu memilih untuk
           Namun, sekarang Senandika bahkan                     mendalami perasaannya sendiri.
           lebih jauh mengerti. Kata-kata itu                   Dalam guyuran hujan, ia menangis
           ditunjukkan bukan untuknya, melainkan                dalam hati. Penyesalan selalu
           ditunjukkan untuk si pengucap sendiri.               menumpuk dalam rongga dada. Setap
                                                                kali hujan datang, objek pikirannya

              Hujan beserta angin yang senantiasa               hanya tertuju pada, dia.
           mengguyur bumi. Alih-alih beranjak dan                   “Senan, aku itu selalu suka hujan.

           berlari meninggalkan tempat tua itu, ia              Mau tau nggak alasannya?” tanyanya
           lebih memilih untuk tetap tinggal disana.            kala itu.
















          59    E-Majalah                               Edisi 4
                                              A
                                            D
                                                  A
                                                N
                                   I
                                 R
                               K
                                    Y
                                          A
                                        S
                                      A
   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63   64