Page 9 - ORASI ILMIAH PROF. DR. POPPY ANDI LOLO SH. MH.
P. 9
8
belum dapat menjadi dasar penanggulangan kejahatan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia. Suatu rumusan perbuatan pidana
(delicten) seharusnya menentukan secara imperatif perbuatan-perbuatan
mana yang tergolong sebagai perbuatan yang melanggar sendi-sendi
kemanusiaan dan perbuatan-perbuatan mana yang belum melanggar sendi-
sendi kehidupan sosial. Isu hukum ini juga mendapat sorotan dari beberapa
penulis tentang tidak sinkronnya antara norma hukum yang mengatur Tindak
Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan kaidah hukum yang mengatur
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan konvensi internasional.
Konvensi internasional yang erat kaitannya adalah Protocol to Prevent,
Suppress and Punish Trafficking in Person Especially Women and Children.
Protokol ini sudah ditandatangani (signatory) oleh Pemerintah Indonesia, dan
semestinya segera diratifikasi. Dari sisi pengertian, di luar batasan protokol
tersebut, pengertian perdagangan orang masih beragam. Hingga saat ini
belum ada kesatuan yang bisa menggambarkan kejahatan perdagangan
orang. Hal ini disebabkan semakin meluasnya dimensi kriminal dari
perdagangan manusia, sehingga batasan tradisional perdagangan
15
manusia/budak menjadi usang . Karena itu, batasan/pengertian itu
membawa dasar dan implikasi yuridis pula. Dalam pendekatan yang dalam
hukum pidana, batasan trafficking menurut Protocol merupakan elemen dari
suatu perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau perbuatan
15 Lihat Alison N. Steward, “International Human Rights Law Group”, 1998, dalam
”Perdagangan Perempuan, Migrasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan: Penyebab dan
Akibatnya”, Publikasi Komnas Perempuan, hal. 7.