Page 144 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 144
“Saya paling seperti ini, ada masyarakat saya yang terus terang dia tidak
mampu membayar kompensasi. Saya mendengar dari Pak Babinsa,
kalau ngga salah namanya Pak WST. Pokoknya yang tidak bisa menebus
kompensasi tidak akan dikasih (tanah), yang menebus yang dapat. Yang
menebuslah (baca: membayar kompensasi) yang dapat tanahnya. Lah,
masyarakat saya ada yang tidak bisa menebus, ya, (akhirnya) saya yang
menebus. Kompensasi itu aturan dari sana (baca: berdasarkan perjanjian
kepala desa dengan PT RSA), semua harus bayar.” (Wawancara, 05/12/2018).
Namun demikian, akhirnya pembeli tanah tersebut tidak dapat
menikmati tanahnya karena terdapat perbedaan antara sertifikat
yang dimiliki dan bidang tanahnya.
“Sertifikatnya saya memegang kalau tidak salah sepuluh. Tapi yang tidak
pas, lokasinya di sini tapi disertifikat tertera di pojok, seperti itu...he...
he..... Namanya yang semua orang Mekarsari. Mas BGN juga memegang
sepuluh. Jadi, sertifikat yang saya tanda tangani dulu. Tidak tahunya sudah
dibeli Pak Haji BLS. Jumlahnya 64 atau 62 kaveling. Nah, kecuali kalau
belinya di Pak WSRlangsung, itu pas antara letak tanah dan sertifikatnya.
Tapi ya yang kurang itu masih banyak sekali.” (Wawancara dengan SD,
05/12/2018).
Bagi para pembeli lahan, kebijakan reforma agraria dipandang
hanya sebagai peluang untuk mendapatkan keuntungan.
Meskipun pada akhirnya, mereka pun tidak mendapatkan lahan
yang telah mereka bayarkan.
Dari bahasan di atas, tampak bahwa perumusan kebijakan
dan implementasi reforma agraria dipengaruhi oleh interaksi
antara pengalaman individu petani dan kondisi sosialnya.
Model interaksi pengalaman individu dan kondisi sosial dan
kecenderungan reaksi tersebut dapat dirangkum pada tabel di
bawah ini.
Atrikulasi Kepentingan Petani 127