Page 25 - Level B1_Isi APa yang lebih seru? SIBI.indd
P. 25

“Lebai. Seperti tak pernah belajar adat saja. Ngaraksa   “Santai,  Bro!  Kaget,  tahu!”  kata  Ijad  dari  dalam



 sasaka  pusaka  bhuana.  Rumah, lingkungan, dan semua   warung.  Jalu  sempat  melirik  saat  Ijad  terlonjak  dari






 isi alam semesta ini bukan milik kita sendiri.  Harus   tempat duduknya. Namun, Jalu memilih tetap cuek.



 diwariskan ke  anak cucu.  Nikmati saja, lah!”  Utari   Ijad  adik  kelas  Jalu  di  sekolah.  Meski  begitu,




 menimpali sambil menggeleng-gelengkan kepala.

               mereka  seumuran.  Meski  sudah  SMP,  namun  badan

 “Huh! Zaman  sudah  berubah, kita listrik masih   Ijad masih seperti anak berusia tujuh tahun. Padahal,




 nyewa,”  ketus  Jalu  sambil memotong  perkataan Utari.  badannya tampak lebih kekar dibanding Jalu.



 Ulu  hati Jalu  berdesir, tak nyaman.  Namun,    Orang  tua  Ijad  adalah  pemilik  warung  yang





 gengsinya menolak semua perasaan bersalah.  Jalu  tahu    menyewakan  colokan  listrik,  menjual  pulsa,  sekaligus




 protesnya keterlaluan dan tak sepantasnya.  Pamali, kata    beberapa  penganan  ringan.  Sejujurnya,  Jalu  tak

 kampung  halamannya.     menyukai warung itu. Warung itu menjual semuanya



 Ketiadaan listrik di Kampung  Naga bukan    dengan  harga  lebih  mahal  dibanding  warung  lainnya.

 karena    tempat   tinggalnya    terpencil,    melainkan    Ya,  meski  Jalu  harus  berjalan  lebih  jauh  dan  menaiki


 karena aturan adat  yang  menghendaki.  Kampung   tangga, tetapi setidaknya, tidak terlalu menguras banyak




 Naga masih  ingin menjaga kemurnian tradisi,    uang. Kalau saja dia tidak buru-buru karena hari makin

 meski tak menolak perubahan zaman.  Namun, rasa    sore, dia tidak akan mau mampir ke warung ini.






 dongkol berkepanjangan membuat  Jalu  sombong



 untuk mengalahkan perasaan tersiksa akibat  tidak    “Huh,  kumaha  sih?  Masa  tidak  ada  sinyal  sih?”

 berfungsinya alat  komunikasi di genggamannya.  Untuk   Jalu  menggerutu  sambil  berdiri  dari  posisi  semula.






 pertama kalinya, sebersit  keinginan melintas  di dalam    Tungkainya kini mondar-mandir tak tentu arah. Jalu tak


 hati Jalu:  meninggalkan Kampung  Naga.   peduli pada Ijad yang tampak masam karena terganggu

               sikapnya. Dia masih ingin memuaskan emosinya.
 ***               “Balik gih. Mau tutup, nih,” perintah Ijad.
 Buk!              Mata Jalu melotot, seolah mau copot. Hatinya yang
 Jalu  menjatuhkan  tungkainya  ke  balai-balai   panas makin kesal. Namun, Ijad terlihat tetap khusyuk
 warung  milik  Ijad.  Tangan  kirinya  menarik  ikat   memandangi layar ponsel di tangannya.
 kepala  yang  dipasang  di  jidatnya  dengan  kasar,  lalu
 melemparkannya begitu saja. Sementara matanya yang   Jalu  memilih  tak  menanggapi.  Hatinya  masih
 tajam tak pernah lepas dari layar ponsel.   kental  dengan  rasa  kesal.  Setelah  hujan  reda  sore
 16  Mengejar                                 Cobaan Pertama  17
                                                     Bab 2
 Haruto
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30