Page 34 - qowaid
P. 34
QAWA’ID FIQHIYYAH
dan memengaruhi perkembangan metodologi hukum Islam
dan perkembangan Islam di dunia. Pertama Golongan yang
memandang Islam dengan pendekatan tekstual, sebagai
tokohnya adalah Imam Ibnu Abbas, Talhah, Aisyah, Abdullah
Ibn Umar dan sejumlah sahabat yang lain. Sedangkan pada
periode tabi’in muncul tokoh Ahlu al-hadis di antarnya Imam
Sa’id Ibnu al-Musayyab dan seorang mujtahid Ahlu al-hadis,
Imam Malik yang terkenal dengan kitab al-Muwatta’-nya.
Golongan kedua memandang Islam dengan pendekatan
kontekstual, sebagai tokohnya Imam Ibnu Mas’ud didukung
Umar bin Khattab, Ali Bin Abi Talib dan sejumlah sahabat
lainnya. Periode tabi’in melahirkan sejumlah tokoh Ahlu al-
ra’yi di antaranya adalah Imam Ibrahim al-Nakha’i dan
seorang mujtahid Ahlu al-ra’yi, yakni Imam Abu Hanifah yang
terkenal dengan metode istihsan-nya.
Kerangka berfikir Imam Abu Hanifah dengan metode
istihsan gairu al-muhaddad (yang liberal), yang meninggalkan
teori qiyas dan menerapkan metode lain yang berpijak pada
asas keadilan, kemaslahatan dan kebenaran, telah menjadikan
akal sebagai pisau analisis guna menentukan kebenaran teks
untuk diimplementasikan. Metode yang dikembangkan Abu
Hanifah ini ternyata mampu menguasai perkembangan
metodologi hukum Islam di Irak yang ketika itu menjadi
sentral peradaban umat Islam di dunia. Sedangkan Imam
Maliki, di kutub lain, menguasai dataran Hijaz, tempat tinggal
Rasulullah yang kemudian menjadi sentral sumber rujukan
ahl al-hadits.
Dari dua kekuatan pemikiran tersebut di atas, terjadi
paradigma berfikir yang berbeda karena dilatarbelakangi
kehidupan sosial dan intelektual yang berbeda pula, yang
pada gilirannya melahirkan benturan pemikiran. Perbedaan
pemikiran semakin tajam saat terjadi peralihan kekuasaan
dari Khalifah Bani Umayyah ke Khalifah Bani Abbasiyyah.
Imam Malik sebagai tokoh ahli hukum Madinah melakukan
protes keras terhadap kebijakan pemerintah Bani Abbasiyah
yang menerima dan bahkan menjadikan mazhab Hanafi
sebagai undang-undang resmi negara.
Pada perkembangan berikutnya datanglah Muhammad
bin Idris al-Syafi’i di Irak, founding father ushul fiqh yang
memaparkan pemikirannya secara teoritik, sistimatik dan
akademik dengan pola berfikir moderat yang tidak hijazi dan
23