Page 35 - qowaid
P. 35
QAWA’ID FIQHIYYAH
tidak pula Iraki yang berharap mampu mengkompromikan
dua pemikiran yang berbeda di atas. Namun, kehadiran Imam
Syafi’i ternyata tidak malah menurunkan konflik tetapi justru
menjadikan konflik semakin tajam, terutama ketika Imam
Syafi’i melontarkan statemen kontra terhadap metode istihsan
Imam Abu Hanifah dengan cara “mengharamkan dan
membatalkan”. Dalam perseteruan itu Imam Syafi’i
mengatakan, man istahsana faqad syarra’a’, “Barang siapa
mengamalkan istihsan, maka sesungguhnya dia berkuasa
membuat syari’at”. Namun kedudukan Imam Syafi’i sebagai
founding father ushul fiqh, ternyata tidak mampu berhadapan
dengan kekuatan yang lebih luar biasa, yaitu metode Istihsan
Imam Abu Hanifah yang mengakar kuat di Irak. Dalam drama
perseteruan itu, Imam Syafi’i akhirnya tersingkir dan hijrah ke
Mesir. Namun begitu, implikasi satatemen Imam Syafi’i di atas
memiliki signifikansi tersendiri terhadap perkembangan
metodologi hukum Islam.
Perlu dicatat, bahwa hijrahnya Imam Syafii’i bukanlah
akhir dari sebuah konflik. Konflik berlanjut pada generasi
berikutnya; al-Jassas, ulama mazhab Hanafi melakukan
antitesis terhadap tesis Imam Syafi’i dengan melontarkan
statemen “bahwa orang yang mengharamkan dan
membatalkan metod istihsan sebenarnya dia tidak mengerti
haqiqat istihsan yang sebenarnya. Seandainya mengerti
tentunya tidak akan mengatakan seperti itu (mengharamkan
dan membatalkan).” Imam al-Ghazali, di lain pihak, mencoba
melakukan pembelaan terhadap Imam Syafi’i dengan
mengatakan: “Imam Syafi’i membincangkan tentang istihsan
tanpa mengerti haqiqat istihsan itu adalah perkara yang
mustahil.” Perbedaan tersebut pada masa-masa selanjutnya
melahirkan konflik pemikiran, benturan pemikiran dan
fanatisme mazhab yang berlebihan. Padahal perbedaan
tersebut sesungguhnya memperkaya khazanah keilmuan. Dan
konflik dua mazhab besar ini memengarui perkembangan
metodologi hukum Islam di dunia, bahkan hingga saat ini.
Ketentuan hukum Imam Abu Hanifah dengan kerangka
berfikir melalui metode istihsan, dan ketentuan hukum Imam
Syafi’i dengan kerangka berfikir melalui metode qiyas
sungguh tidak dapat dipertemukan. Karena pada paradigma
teori istihsan, akal mempunyai kekuatan mutlak sebagai pisau
analisis terhadap kebenaran teks untuk diimplementasikan.
24