Page 40 - qowaid
P. 40
QAWA’ID FIQHIYYAH
fiqh untuk berfikir hanya pada kerangka mazhabnya masing-
masing, sehingga ta’asub (fanatisme) antara mazhab Hanafi
dan mazhab Syafi‘i semakin memuncak.
28
Pandangan yang bersifat teori tersebut ditambah
dengan kenyataan bahwa hampir seluruh bidang hukum
positif telah dibakukan menurut standar keagamaan dan etika
sesuai dengan syari’ah oleh masing-masing mazhab. Para
fuqaha pada periode ini kehilangan dorongan untuk
mengembangkan penalaran dan merasa cukup dengan
pengumpulan karya-karya mazhab yang telah ada serta
membatasi ijtihad hanya pada soal-soal furu’ (cabang) belaka.
Mereka bersepakat untuk menutup pintu ijtihad atas
pertimbangan hanya karena rasa kekhawatiran tumbuhnya
perselisihan pendapat diantara mazhab Sunni. Dengan
29
demikian secara berangsur-angsur kedudukan ijtihad dalam
metodologi perumusan hukum makin lama makin menurun,
sampai akhinya seolah-olah ijtihad kehilangan sama sekali
kedudukannya dalam perumusan hukum, sehingga muncul
kesan bahwa aktivitas ijtihad sudah tertutup. Kemudian
peradaban bangsa Arab mulai menurun dan secara perlahan
mengalami kemunduran hingga akhirnya mengalami
kemerosotan pada semua bidang.
Meskipun ijtihad sudah tidak gencar digalakkan atau
bahkan bisa dikatakan tertutup, namun aktifitas penulisan
ushul fiqh dan kaidah fiqh mengalami peningkatan. Oleh
sebab itulah pada masa ini dapat dikatakan masa keemasan
penulisan ushul fiqh dan kaidah fiqh. Para fuqoha pada masa
ini mulai menyusun fiqh dalam formula baru yang memiliki
rumusan sistematik dan ilmiah. Cara penulisannya pun sangat
berbeda dengan masa sebelumnya, karena pada masa ini
penulisan dimulai dengan pernyataan umum (kaidah-kaidah)
kemudian disertakan penulisan cabang (furu’) sebagaimana
kitab Al-Asbah wa An-Nazha’ir yang dikarang oleh Jalaluddin
al-Suyuthi.
28 Abd al-Wahab b. Khalaf, (1985). Penterjemah Yusouf Zaki Yakub, Kelantan Kota
Baru: Dian Dar al-Na’in, h. 95. Muhammad Hasan Hitu, (t.t), op. cit. hlm. 355-356.
29 Subhi Muhammad Mahmasani, (t.t.) op.cit., h. 36. lihat faktor-faktor ditutupnya
pintu ijtihad, dimana kekacuan dalam bidang hukum Islam disebabkan oleh orang-
orang yang tidak cakap dalam berijtihad melakukan kajian hukum sehingga hukum
Islam tidak sesuai dengan Nash-Nash yang ada. Abdul Wahab Khallaf (1985),
Mengenal Sejarah Perundangan Islam, penterjemah Yusoff Zaky Yacob, Kota
Bharu: Dian Darunaim, hlm. 97-98.
29