Page 36 - qowaid
P. 36

QAWA’ID FIQHIYYAH



                       Sedangkan  pada  teori  qiyas,  teks  mempunyai  kekuatan
                       mutlak, akal hanya untuk menganalogi perkara yang tidak ada
                       nashnya  dengan  perkara  yang  ada  teks  nashnya.  Namun,
                       ketentuan  hukum kedua imam dapat  dipertemukan apabila
                       Imam Syafi’i keluar dari kerangka berfikir teori qiyas.
                              Pada prinsipnya konflik pemikiran Imam Abu Hanifah
                       dan Imam Syafi’i merupakan kepanjangan perbedaan aliran
                       pemikiran  Ahl  al-ra’y  dan  institusi  Ahl  al-hadits.  Dalam
                       memahami nash-nash syarak, aliran Ahl al-hadits melakukan
                       pendekatan  secara  tekstual.  Sedangkan  aliran  Ahl  al-ra’y
                       melakukan  pendekatan  secara  kontekstual.  Imam  Abu
                       Hanifah  menggunakan  manhaj  al-istihsan  di  mana  akal
                       memiliki  peran  yang  mutlaq  dalam  melakukan  istinbat  al-
                       ahkam  dan  istidlal  al-ahkam.  Imam  Syafi’i,  sebaliknya,
                       menggunakan  manhaj  qiyas  untuk  melakukan  istinbat  al-
                       ahkam dan istidlal al-ahkam, yang memosiskan akal sebagai
                       media  untuk  menganalogikan  hukum  yang  tidak  terdapat
                       dalam teks nash dengan hukum lain yang terdapat dalam teks
                       nash.   Perlawanan  Imam  Syafi’i  terhadap  pemikiran  Imam
                             20
                       Abu Hanifah melahirkan  dua periode  sejarah, yaitu periode
                       klasik, dan periode modernis.
                              Periode  klasik  sendiri  dibagi  menjadi  tiga,  salah
                       satunya  yakni  periode  kejayaan  Islam  (150-350  H.)  yang
                       dalam literatur sejarah hukum Islam sering disatukan dengan
                       periode  al-Khulafa’al-Rasyidun.  Pada  masa  pemerintahan
                       dikuasai  oleh  Muawiyah,  para          pemimpinnya  tidak
                       memberikan  perhatian  terhadap  persoalan  hukum,  kecuali
                       Khalifah  ‘Umar  b.  ‘Abd  Aziz  (w.  101  H).  Kondisi  demikian
                       berdampak  pada  lahirnya  gerakan  pemikiran  dan  ijtihad  di
                       kalangan  umat  Islam.  Keputusan  hukum  tidak  berada  di
                       bawah  naungan  dan  perlindungan  pemerintah.  Hukum
                       dihasilkan dan dikembangkan di pusat-pusat pengembangan
                       (bebas  daripada  kekuasaan).  Para  Khalifah  Bani  Umayyah
                       tidak  berusaha  menjadikan  keputusan-keputusan  hukum
                       dalam bentuk yang legal dan resmi. Sejumlah ahli hukum pun
                       tidak mempunyai hubungan dengan khalifah, kecuali al-Zuhri
                       (124 H).  Para ulama pada masa Bani Umayyah berada di luar
                                21

                   20  Noel J Coulson, (1989), Conflicts And Tensions In Islamic Jurisprodence, London:
                   The University Of Chicago, hlm. 7.
                   21  Amin A. (1965), Fajar al-Islam, c. 10, Sulaiman Mar’i Singapura, Kota Kinabalu,
                   Penang, hlm. 248.
                                                   25
   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41