Page 21 - 4. 2023_Buku Pendidikan Anti Bullying_Rini Yudiati_compressed
P. 21
Di Indonesia, sebanyak 10-60% siswa setiap minggunya minimal
sekali mendapatkan ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan,
tendangan atau dorongan. Di daerah Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta,
sebanyak 67,9% siswa SMA dan 66,1% siswa SMP mendapatkan
kekerasan berupa kekerasan psikologis seperti pengucilan, kekerasan
verbal seperti mengejek, dan kekerasan fisik seperti memukul (Putri,
2022). Bullying di sekolah menjadi kasus tertinggi yang diadukan
masyarakat ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan
total laporan pada 2014 sebanyak 12.790 aduan. Banyaknya kasus
bullying di Indonesia menjadikan Indonesia menduduki peringkat
kedua negara dengan kasus bullying tertinggi di bawah Jepang (Sulis
Rudatin, 2015).
Tingginya angka kejadian bullying di sekolah dapat disebabkan
oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa
temperamental masing-masing individu, kondisi psikologi seseorang
untuk melakukan tindakan agresi, serta impulsivitas dan kemampuan
regulasi diri (Darmayanti, dkk., 2019). Adapun faktor eksternal dapat
berasal dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan
sosial, dan faktor kelompok sebaya seperti:
1. Anak tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis dan kurang
perhatian dari orang tua sehingga sosialisasi pada anak tidak
sempurna dan menyebabkan anak memiliki perilaku yang
menyimpang dari nilai dan norma masyarakat.
2. Adanya kesalahpahaman yang belum diluruskan.
3. Proses pencarian identitas atau jati diri sehingga anak cenderung
mencari kelompok yang dapat menerima dan berbagi perasaan
sehingga apabila anak bergabung pada kelompok teman-teman
yang bermasalah di sekolah dapat memberikan dampak negatif
ke anak tersebut.
4. Konten pada media massa yang mengandung kekerasan
sehingga dicontoh anak dalam kehidupan sehari-hari.
Pada bullying yang dilakukan secara berkelompok, terdapat
pembagian peran (Santoso, 2018) yaitu:
12 Pendidikan Anti Bullying