Page 173 - THAGA 2024
P. 173
membeli pentol, mendadak dipekatnya malam, dari arah selatan
turun cahaya putih kemerahan bagai lintang kemukus yang
jatuh di atas lembahan. Aku menunjuk cahaya itu ke teman-
temanku, tapi tak ada satu pun dari mereka yang bisa melihat
sorot sinarnya. Dengan tatapan terkejut, bapak tadi bertanya
padaku apa aku bisa melihat cahaya tadi? Aku mengangguk
lalu bapak itu memberikan statement yang mengejutkanku.”
Aku mengambil napas dalam dalam lalu mendengus tanpa ada
niat untuk menuntaskan cerita.
“Lalu, Mas? Apa yang disampaikan bapak misterius itu?”
Tangannya menyentuh pundakku yang sedang mengarahkan
roda kendaraan menyisir ke arah Kota Batu.
Aku menatapnya sejenak, mengagumi parasnya yang
sedang dilanda penasaran. “Coba tebak? Kalo tebakanmu
bener, aku traktir pentol satu gerobak.”
“Ih ... bikin penasaran, loh. Apa, ya, Mas? Saya lagi gak
bisa mikir ini.” Air mukanya mulai tampak menghangat. Segaris
senyum mulai menghiasi parasnya.
“Tebak dulu, dong? Eh lagi buntu, ya? Yaudah aku jawab.
Jadi, dengan takzim dia bilang kalo aku bisa lihat cahaya tadi,
berarti aku nanti akan punya dua istri. Aku sendiri cukup ternganga
mendengar pernyataannya. Bapak itu seperti membalik
pesimisku soal hubungan pernikahan, sebab sepertinya aku gak
akan pernah siap untuk menikah atau pun sampai punya anak.
Bahkan mungkin dalam hidupku, menikah dan punya anak
bukanlah suatu pencapaian yang membanggakan. Aku merasa
sudah cukup bahagia dengan apa yang aku jalani sekarang.
Bebas dan tanpa beban tanggung jawab. Meski dalam moral
mungkin pemikiranku itu sama sekali tak mencerminkan sosok
idealnya seorang lelaki. Apalagi kata orang, lelaki jantan adalah
yang berhasil membuahi rahim wanita.”
THAGA 165
GALGARA