Page 198 - THAGA 2024
P. 198
keberatan dan terakhir kami memesan cokelat hangat sebagai
penghangat tubuh, mengingat awan mendung mulai berarak
datang dari balik pegunungan.
Sebenarnya cukup disayangkan kali ini kami hanya
makan, mengobrol, bercanda, meski Nabila sempat meminta
berswafoto dan hanya itu kesempatan tubuhku untuk benar-
benar berdampingan dengan Nabila. Hanya sebatas itu dan
kami tidak melakukan apa pun lagi. Hari mulai beranjak petang,
mendadak langit menurunkan jutaan airnya disertai dengan
angin dan kabut. Aku dan Nabila segera beranjak menuju mobil
dan bersiap pulang.
Dari Kanvill yang letaknya di pinggiran kota Malang
yang jalanannya terkenal sempit dan agak gelap, kami coba
bergerak pelan. Celakanya, lampu utama mobilku putih bukan
kuning, membuat kabut sulit ditembus meski lampu depan
bawah yang merupakan foglamp menyala. Hujan memang
begitu derasnya malam itu. Cukup berbahaya kalo nekat untuk
melanjutkan perjalanan pulang. Kendaraan lain pun jarang kami
temui berpapasan meski malam masih muda. Aku pun terus
melajukan kendaraan pelan dan pandangan seawas mungkin
menyisir rambu jalan. Kami pun membuat kesepakatan jika
daerah Malang kota juga hujan deras dan berangin, maka kami
memutuskan untuk mencari penginapan terdekat, karena kami
harus menuju terminal Arjosari dulu untuk mengambil motor
Nabila. Sebenarnya bisa saja aku antar Nabila langsung ke
rumah dan meninggalkan motornya di parkiran terminal untuk
menginap semalam, tetapi Nabila memilih untuk bertahan
saja dan belum mau untuk pulang daripada resiko di jalan.
Sempat aku tawarkan untuk membunuh waktu ke mal saja,
menunggu hujan redah sekalian menemani dia berbelanja,
190 THAGA
GALGARA