Page 262 - THAGA 2024
P. 262
Lima belas menit berlalu, kami masih menembus hutan
Kali Putih. Aliran air yang menumbuk bebatuan menimbulkan
suara gemericik. Suara lolongan anjing mulai terdengar. Juga
rengekan burung nocturnal mulai bersautan. Aroma pandan
tiba-tiba menyeruak ke dalam lubang pernafasanku. “Sudah
dekat,” batinku.
Sebuah batu besar tampak menonjol di aliran air yang
diselimuti kegelapan malam. Pohon angsana hingga jati hutan
membentengi aliran air Kali Putih. Di sini airnya benar-benar
berwarna keputihan. Batu besar berwarna hitam legam di
tengah aliran air menjadi tempat ritual pertamaku. Posisinya
seperti sebuah panggung yang berceruk. Segera aku mengajak
Nastiti untuk menyiapkan segala keperluan.
“Nas. Kamu di sini saja, di atas motor. Aku bakal naik ke
batu itu.” Jari telunjukku mengarah ke batu hitam. Nastiti hanya
menganggukkan kepala.
“Aku ikut Gal. Aku kan sudah bilang gak mau ditinggal
meski cuman semeter.”
Di tengah pekatnya malam, tepat pukul 1 dini hari yang
mempunyai energi besar, aku mulai menyiapkan ubarampe
yang aku bawa. Aku gelar isinya di atas kain mori atau kafan,
lalu menuangkan kopi hitam pahit ke dalam gelas air mineral,
sebatang rokok juga aku nyalakan. Kemudian aku menyiapkan
sebuah jeruk yang nantinya sebagai tempat menancapkan
dupa. Tanganku menangkup ketiga batang dupa lalu membakar
ujungnya, setelah meniupnya, uaran asap dan aroma wangi
segera menyeruak indera penciuman. Aku bawa batang dupa
ke depan dada lalu menaruh di atas kening. Sebaris kalimat
dalam bahasa Jawa aku rapalkan. Bukan mantra tapi doa
yang sedang aku ucapkan dalam hati disertai pikiran yang
254 THAGA
GALGARA