Page 261 - THAGA 2024
P. 261
suasana sepi. Rumah penduduk sudah banyak tertutup bahkan
lampu penerangan jalan desa sebagian padam. Sampai di
sebuah pos kamling. Aku menurunkan Nastiti.
“Nas, kamu turun sini, ya. Tunggu aku balik. Tiga puluh
menit aku kembali.”
“Gak mau, Gal. Aku ikut. Aku gak mau ditinggal lagi kayak
tadi,” katanya merajuk.
“Kalo gitu kamu pegangan. Tutup matamu gak usah dibuka
sebelum aku nyuruh kamu membuka mata,” tegasku saat
memasuki gerbang jalan setapak. “Ucapin salam, ya, Nas.
Assalamualaikum.”
Jalanan mulai naik dari aspal berganti tanah, batu dan
rerumputan seukuran satu motor. Pohon bambu yang rimbun
menyambut kedatangan kami. Suaranya seolah menjerit kala
angin membuat batang-batangnya saling bergesekan. Aroma
segar menusuk pepohonan mulai menguasai indera penciuman
kami. Gelapnya jalan hanya diterangi lampu kuning motor
dan bulan yang menggantung gompal di atas sana. Tak ayal
badan kami berkali-kali harus terangkat kala roda kendaraan
menghajar bebatuan. Dan terkadang kaki ini harus turun kala
licinnya tanah berkubang lumpur menghadang jalan kami.
Nastiti merengkuh erat-erat tubuhku, tangannya melingkar,
dadanya menempel di punggungku. Berat rasanya membonceng
dengan boncengers yang kaku. Seolah membawa berkintal
sak beras. Matanya masih terpejam dengan mulut merapal
entah doa apa. Aku tetap fokus pada jalur dan tanganku erat
menggenggam stang kemudi. Berkali-kali sekelebat bayangan
melewati depan pandanganku. Perasaanku juga merasakan
ada puluhan pasang mata yang sedang mengawasiku di balik
semak jalan.
THAGA 253
GALGARA