Page 256 - THAGA 2024
P. 256
langsung berangkat. Aku gak mau kamu kenapa napa, kita
hancurkan benda terkutuk itu,” titanya ketus sambil ngeloyor ke
kamar mandi.
“Bukan menghancurkan, Nas. Tapi mengembalikan.
Yasudah jangan lupa pake hoodiemu. Kita ke pasar dulu beli
ubarampe. Abis itu ke terminal ambil motor. Lalu lanjut ke tempat
Ratu. Kamu masih belum ngantuk kan?” Tak ada jawaban dari
dalam. Mungkin lagi sibuk membersihkan diri atau memang
masih ada ragu.
Setelah semua siap. Kami bergegas masuk kendaraan.
Biar saja kendaraanku yang berlari. Kota Surabaya masih
terus berdetak. Malam masih hidup. Kerlip lampu kota banyak
menghiasi sudut-sudutnya. Sparkling of Surabaya, tulisan itu
kami baca kala telah sampai Bundaran Waru. Batas antara Kota
Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. Sepuluh menit kemudian
kami berhenti di pasar Waru yang dekat kawasan terminal
Bungurasih. Di pasar ini, tiada jam kosong. Tiap saat selalu ada
aktivitas jual beli.
Nastiti menunggu di kendaraan kala aku berada di pasar
yang menjadi wilayah kekuasaan si Zalanbur, mulai dari yang
pangkat anak magang sampai pangkat jenderal ada semua di
sini.
Segera aku menebus kain mori atau kafan sepanjang 30cm,
pisau, dupa yang jumlahnya ganjil, jeruk, tempe mentah, terong,
kacang panjang, polo pendem berupa singkong, pisang, kopi,
rokok dan tidak ketinggalan juga bunga setaman yang terdiri
dari bunga mawar merah, bunga melati, bunga cempaka putih
atau yang disebut juga bunga kantil, bunga kenanga dan irisan
daun pandan. Kesemuanya itu dibungkus daun pisang. Bunga
setaman ini biasanya akan ditaburkan disekitar objek tertentu.
Misal makam, perempatan jalan, arca dan bahkan air laut.
248 THAGA
GALGARA