Page 276 - THAGA 2024
P. 276
“Ini kita di tempat ticketing masuk kawasan Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru, Nas. Turun, yuk. Pegel nih, bokong.
Mau teh anget sekalian? Bakso?”
“Males, Gal. Masih ngantuk. Masih kenyang juga perutku.”
Wajahnya disurukkan ke punggungku. Tangannya menelusup
di kantong depan hoodieku.
“Yaudah beli beannie, syal sama sarung tangan dulu, ya.
Di atas bakal lebih dingin soalnya.” Seorang ibu-ibu datang
menghampiri motor kami. Kami pun segera turun dari motor.
Dengan bahasanya yang sopan dan agak maksa, Nastiti pun
hidup. Dengan gercep dia memilih beannie dan syal warna putih,
sarung tangan dan kaos kakipun dibelinya. Disaat dia shoping,
aku segera menebus dua tiket cancelan yang harganya agak
lebih tinggi 50 persen dari harga tiket normal.
Rombongan-rombongan motor pun mulai banyak yang
berangkat dari tempat ticketing menuju bukit Pananjakan. Aku
dan Nastiti segera turut berangkat. Berkendara bersama-sama
dalam satu rombongan terasa lebih hangat dan safe.
Setelah melalui Desa Wonokitri yang merupakan desa
terakhir dan pintu Masuk Bromo via Nongkojajar Pasuruan.
Kami terus menempuh perjalanan hingga sampai di Bukit
Pananjakan. Sebelum sampai bukit Pananjakan, kami
dimanjakan landscape kaldera Gunung Batok dan Gunung
Bromo yang menjulang agung dikelilingi lautan pasir. Sedang
di atas sana, jutaan bintang gemintang benar-benar bertaburan
berkerlip terang diantara garis lengkung gugusan milky way.
Bulan yang gompal bersinar terang benderang. Kami pun
berkali-kali menyebut asma Allah dan mensyukuri nikmat dan
kebesaran ciptaan-Nya.
Tak ingin berlama-lama di sini. Aku mengajak Nastiti segera
menuju Bukit Pananjakan 1 yang melewati Bukit Cinta. Tak
268 THAGA
GALGARA