Page 279 - THAGA 2024
P. 279
yang masih terbelenggu dengan trauma merasa bahwa dirinya
tidak layak mendapat rasa bahagia.
Terakhir, sering menyakiti diri sendiri atau orang lain, di
mana mereka yang memiliki trauma cenderung lebih suka
memendam semuanya sendiri dan hingga akhirnya menyakiti
dirinya sendiri. Ketakutan akan ditolak, dipandang lemah, serta
dihakimi. Mereka akan menyalahkan diri sendiri dan menarik
orang lain untuk merasakan trauma yang mereka rasakan.
Setelah santap subuh yang tak terdengar suara azan meski
sayup-sayup. Aku dan Nastiti segera menuju area tribun nobar
sunrise di Pananjakan 1. Di sana sudah banyak wisatawan
berkumpul. Dingin yang menguliti hingga menusuk tulang
bukan menjadi penghalang kami untuk menikmati keindahan
matahari terbit dari atas sini.
Kami duduk di bangku paling atas agar dapat memandang
landscape lebih luas. Jajaran Gunung Batok yang bertirai
plisket, Gunung Bromo dengan kaldera yang mengepulkan
asap menjadi awan dan dari sini Gunung Semeru menjulang
agung membubungkan kepulan asapnya seolah semua awan
diciptakan dari sana. Di bawah mata memandang, lautan
pasir terhampar luas dan bentangannya melingkupi semua
kaki gunung. Awan tipis mengambang membuat kami seolah
sedang berada di atas kayangan.
“Gal.” Nastiti memanggilku tanpa memandang. Matanya
lurus terpancang menatap hamparan landscape Bromo. Fajar
sudah mulai muncul kala matahari berada di ufuk timur. Tandanya
terlihat kala munculnya cahaya samar yang menjulang tinggi
secara vertikal dihorizon timur yang dikenal dengan fajar semu
atau fajar kidzib.
Kami masih sabar menunggu keindahan sang surya kala
terbit dari ufuk timur Gunung Bromo secara perlahan meski
THAGA 271
GALGARA