Page 367 - THAGA 2024
P. 367
Sejenak kemudian kami telah sampai di rumah Arum
setelah melewati sebuah pondok pesantren yang cukup besar.
Sebelumnya kami juga mampir ke pasar dulu untuk membeli
baju takwa, peci, celana kain hitam, dan juga jajanan pasar
dengan kotak kardus berisi makanan siap saji ala-ala KFC.
Rumah Arum tidak terlalu besar dan terlihat cukup sepi.
Rumahnya mempunyai halaman masih berupa tanah kosong
yang cukup luas dengan pohon mangga dan tiang jemuran
pakaian di depannya. Bangunannya seperti model Romawi versi
kearifan lokal dengan warna putih cokelat yang mendominasi.
“Yuk, masuk, Mas Gal,” ajak Arum yang langsung
mengajak aku memasuki rumah yang pintunya tanpa dikunci.
“Assalamualaikum,” ucapnya tanpa ada sahutan kala kami
berada diambang pintu. “Duduk dulu, Mas Gal, mau minum
sirup biar seger?” tanyanya yang aku jawab dengan alis mata
yang terangkat sembari menghempaskan tubuh bagian bawah
ke sofa merah.
“Sejak kapan dia mulai manggil aku Mas, ya. Tapi bener
juga, sih, dia. Kami seolah sedang melakukan drama tanpa
naskah. Harus pandai improvisasi, nih. Cukup menantang ,”
batinku.
“Tunggu aja disini, Gal, biar aku bilang Ibu dulu. Terus
nanti kita ngobrol bertiga ya,” ujarnya berbisik yang aku jawab
dengan anggukan.
Cukup lama aku duduk mematung di ruang tamu. Mataku
tertuju pada lukisan ka’bah dengan bingkai emas yang
tergantung di tembok putih di depanku. Entah kenapa aku
menyukai rumah-rumah dengan isi yang gak banyak hiasan.
Otakku terasa nyaman. Mataku mulai mengantuk tapi berdebar
kala Arum membawa 3 gelas belimbing dengan air es sirup
THAGA 359
GALGARA