Page 371 - THAGA 2024
P. 371
Siang menuju sore. Setelah kami melakukan persiapan
dan melakukan kunjungan ke makam bapak Arum, calon
mempelaiku meminta baju, celana dan dalamanku untuk
dicucinya. Rasa malu terbit dari kalbuku. Seolah-olah aku sudah
sah berumah tangga padahal waktu ijab qabul masih kurang
beberapa jam lagi. Undangan tentang rencana ijab qabul kami
pun segera terbetik ke seluruh penjuru tetangga. Aku segera
berganti pakaian terbaik dengan baju taqwa.
Selepas salat Maghrib berbondong kerabat, para tetangga
dan penghulu telah memenuhi ruang tamu hingga teras rumah
Arum. Mendadak rumah yang tadi siang sepi berubah menjadi
seperti pasar malam kaget. Segala hidangan dikeluarkan dan
segala keperluan ijab disiapkan. Aroma wangi parfum para
undangan bercampur aroma makanan dan rokok menguar jadi
satu menjadikan suasana menghangat.
Aku yang banyak dosa tapi berlagak tanpa dosa sudah
duduk bersila didepan pengulu yang kala itu mengenakan
baju takwa kuning emas dibalut jas hitam dengan kepala yang
ditutupi songkok hitam. Parfumnya seperti aroma Mekkah.
“Memang benar. Harus begini. Jika anak sudah ingin
menikah, maka janganlah ditunda lagi. Disegerakan itu akan
menyelamatkan keduanya,” ujar pengulu dengan cambang
yang tercukur rapi saat menyampaikan kuliahnya di depan kami
yang hadir. “Setelah semua syarat syar’i terpenuhi, maka ijab
qabul bisa dilakukan. Ini walinya diwakilkan kepada saya selaku
penghulu, jadi nak Galang nanti langsung mengucapkan ijab
dengan saya.” Hadirin diam seolah memahami kondisi keluarga
kami.
“Nak Galang siap-siap, ya?” Yang aku jawab dengan
anggukan. Perasaanku saat itu hanya dingin membeku, semua
THAGA 363
GALGARA