Page 15 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 15

xiv  —   SEJARAH ISLAM DI NUSANTARA


          hubungan Muslim Asia Tenggara dengan sesama pemeluk Islam di Tanah Air
          dan di luar negeri, baik sebelum maupun di bawah kolonialisme Belanda yang
          menjadikan mereka bangsa Indonesia. Jauh melampaui sekadar fakta hegemoni
          latar belakang, keterlibatan langsung para penasihat orientalis seperti Snouck,
          yang bertindak atas nama negara kolonial dan berpura-pura menguntungkan
          umat Islam, merupakan sebuah alur utama yang memperumit kisah tersebut.


          SUFISME DAN YANG MODERN

          Berbekal pengetahuan akan masa lalu, kita bisa dengan mudah menyatakan
          bahwa skeptisisme yang digemari Geertz mengenai vitalitas jangka panjang
          proses  Islamisasi,  yang  diungkapkan  dalam  Islam  Observed-nya,  barangkali
          sekarang tampak keliru. Namun, kita juga bisa menantang penggambarannya
          terhadap  sejarah  Islam  Indonesia  sebagai  “hingga  belakangan  ini,  sangat
                                                                 2
          lentur, tentatif, sinkretis, dan, yang paling penting, multisuara”.  Jika, bagi
          Geertz, watak multisuara Islam Indonesia adalah yang paling penting, dengan
          menengok ke sekitar empat dekade kemudian, kita bisa menyatakan bahwa
          syarat “hingga belakangan ini” itulah yang sebenarnya merupakan pengamatan
          paling relevan. Bisa dibilang bahwa Geertz membaca bidang-bidang kajiannya
          dengan  memperhatikan  kecendekiawanan  modernis  dan  penjelasan  para
          informan yang tampaknya merupakan pencela banyak praktik lokal yang dia
          dokumentasikan. Sebagaimana akan kita lihat, para informan semacam itu
          dan juru bicara mereka dari Barat memiliki sejarah yang berkelindan.
              Dalam sebuah kritik mutakhir terhadap bidang kajian kolonial, Frederick
          Cooper mempertanyakan kegunaan trinitas kudus “identitas”, “globalisasi”,
          dan “modernitas”. Dia menuntut tingkat kespesif kan yang lebih tinggi dalam
          wacana akademik dan menuntut kajian yang membaca kolonialisme bukan
          sebagai  sebuah  kisah  yang  dituturkan  dengan  latar  belakang  bangkitnya
          modernitas, melainkan lebih sebagai perjumpaan-perjumpaan tempat konsep-
                                                                   3
          konsep seperti “bangsa”, “yang modern”, dan “agama” diberi makna.
              Buku ini sebagiannya dimaksudkan untuk mendorong tantangan ini.
          Sebelumnya  saya  sudah  berusaha  menunjukkan  kontribusi  Islam  terhadap
          terbentuknya  Indonesia,  sekarang  saya  ingin  beralih  untuk  menyelidiki
          bagaimana Islam ditafsirkan dan dibentuk oleh beragam aktor di kawasan ini;
          termasuk orang-orang Kristen Belanda. Yang sangat penting bagi penyelidikan
          saya  adalah  perdebatan  mengenai  posisi  praksis  tarekat—berbagai  ritual
          perenungan mistis yang diorganisasi di bawah bimbingan seorang guru yang
          dikenal sebagai syekh—yang hanya mewakili satu aspek dari Suf sme sebagai
          sebuah bidang pengetahuan Islami.
              Dalam  perjalanannya,  sebuah  kisah  yang  jauh  lebih  luas  dan  kerap
          lebih politis harus dituturkan, kisah yang secara implisit mempertanyakan
   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20