Page 224 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 224

SEPUL UH

                   DARI SUFISME KE SALAFISME


                                       1905 – 1911












                    Hingga  Snouck  Hurgronje  meninggalkan  Hindia  Belanda  pada  1906,  di
                    negeri  ini  tak  ada  sesuatu  pun  yang  diketahui  mengenai  reformisme  atau
                    modernisme, gerakan-gerakan keagamaan yang lebih baru dalam Islam. Selama
                    tinggal di Indonesia selama tujuh belas tahun, Snouck Hurgronje mengenal
                    Islam sebagaimana agama tersebut disampaikan oleh nenek moyang. Tak satu
                    pun dalam tulisan-tulisannya dari periode itu bisa ditemukan jejak mengenai
                    fenomena keagamaan pada masa-masa yang lebih baru. 1

                    emikian ditulis G.F. Pijper (1893–1988), salah seorang administrator kolonial
               Dterakhir yang dididik oleh Snouck Hurgronje, dan seorang cendekiawan
               yang dikenal (seperti yang diharapkannya) karena minatnya terhadap reformisme
               dan dampaknya terhadap Hindia. Namun, meski reformisme Salaf  Muhammad
               ‘Abduh (1849–1905) dan Muhammad Rasyid Rida (1865–1935) dari Kairo—
               demikian gerakan ini dikenal karena diklaim oleh mereka meniru praktik “para
               leluhur saleh” (al-salaf al-salih) yang terbukti sahih—tetap memasuki masyarakat
               Hindia ketika ‘Abd al-Ghaf ar meninggalkan Batavia, kita menjadi tahu bahwa
               ketika  gerakan  ini  mencapai  Nusantara  nyatanya  punya  tujuan  yang  sama
               dengan gerakan yang sudah berlangsung di Asia Tenggara. Snouck bisa jadi tidak
               merujuk modernisme Kairo dengan begitu banyak kata tapi, seperti yang akan
               ditunjukkan bab-bab berikut. Dia dan para pembantunya telah membuka pintu
               bagi penafsiran modernis terhadap Islam. Untuk memahami sampai pada titik ini,
               kita perlu melangkah mundur dalam waktu dan ruang untuk melihat perspektif
               yang lebih luas mengenai negeri-negeri Jawi.


               AHMAD AL-FATANI DAN AHMAD KHATIB AL-MINANKABAWI
               MENGENAI TAREKAT
               Pada  awal  abad  kedua  puluh,  karya-karya  tercetak  sudah  selama  beberapa
               dekade menyediakan akses untuk menjangkau ajaran Islam. Sejauh itu tentu
   219   220   221   222   223   224   225   226   227   228   229