Page 225 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 225

204  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN


          sudah jelas. Namun, publik muslim belum memiliki sarana untuk turut serta
          dalam  perdebatan-perdebatan  keagamaan.  Ini  akan  terus  berlanjut  hingga
          khalayak yang terbiasa dengan seni cetak mengembangkan minat yang kuat
          pada surat kabar. Sampai saat itu, dan meski mereka sendiri memainkan peran
          dalam menciptakan publik pembaca, para Suf  dari tarekat-tarekat populer
          dikritik  oleh  para  lawan  elite  mereka  sebagai  korban  ketololan,  musuh
          potensial bagi keamanan publik, dan orang-orang desa polos yang menjadi
          gila karena gairah.
              Masih  bisa  dipertanyakan  apakah  kritik-kritik  ini  membuat  khawatir
          para syekh Suf  yang tetap sibuk mengajarkan pengetahuan secara pribadi dan
          memberikan ijazah-ijazah yang sangat penting untuk transmisi lebih lanjut
          pengetahuan  tarekat  dengan  ujung  pena  mereka.  Pengawasan  ortodoksi
          Suf  adalah persoalan internal, dan para syekh di Mekah tetap merupakan
          penentu akhir, baik bagi para raja maupun orang-orang awam. Salah satu
          otoritas semacam itu adalah pencetak Mekah Ahmad al-Fatani (1856–1908),
          sama  terkenalnya  di  daratan  utama  Asia Tenggara  seperti  halnya  Nawawi
          Banten di kepulauan. Pada 1905 al-Fatani menerima permohonan dari Raja
          Muhammad IV di Kelantan, sebuah negara Melayu yang saat itu di bawah
          kendali Siam. Dalam suratnya, Raja Kelantan meminta pendapat mengenai
          apa yang diyakini sebagai praktik sebuah tarekat Suf  yang gurunya baru saja
          tiba di kawasan tersebut dan telah mengumpulkan beberapa murid di Kota
          Bharu. 2
              Guru  yang  dimaksud  adalah  seorang  Minangkabau  Semenanjung
          bernama Muhammad Sa‘id b. Jamal al-Din al-Linggi (alias Cik ‘Id, 1875–
          1926).  Cik  ‘Id  adalah  murid  orang  Mesir,  Muhammad  al-Dandarawi
          (1839–1911),  juga  murid  orang  Sunda  Ibrahim  al-Duwayhi  (1813–74),
          dan mengikuti tradisi yang diciptakan oleh orang Maroko Ahmad b. Idris
          (1750–1837). Sebenarnya al-Duwayhi telah memantapkan dirinya di Mesir
          sebelum pindah ke Mekah pada 1855 untuk membangun pondoknya sendiri
          di Jabal Abi Qubays. Di sana dia menyedot perhatian para calon Suf  yang
          berdatangan dari seluruh penjuru, termasuk Melayu. 3
              Ternyata, Ahmadiyyah, demikian tarekat ini dikenal, telah dikenalkan
          ke Kelantan pada 1870 oleh ‘Abd al-Samad b. Muhammad Salih (alias Tuan
          Tabal,  1850–91),  yang  mewakili  penafsiran  sadar  terhadap  ajaran-ajaran
          Idrisi.  Persoalannya  agak  berbeda  dengan  Cik  ‘Id,  yang  lebih  menyukai
          penafsiran mabuk dan populis al-Dandarawi, meski telah belajar di Mekah di
          bawah bimbingan ulama yang tenang seperti Zayn al-Din Sumbawa, Nawawi
          Banten, Ahmad Khatib al-Minankabawi, dan Ahmad al-Fatani.
              Dalam permohonannya, Muhammad IV bertanya kepada Ahmad al-
          Fatani  mengenai  keabsahan  perkumpulan  yang  menempatkan  lelaki  dan
          perempuan dari segala usia berkumpul bersama. Sang penguasa itu terutama
   220   221   222   223   224   225   226   227   228   229   230