Page 228 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 228

DARI SUFISME KE SALAFISME  —  207


                    Ahmad Khatib menggunakan teks-teks tersebut sebagai tongkat retoris
               untuk  memukul  para  syekh  yang  (dia  dengan  susah  payah  menekankan)
               pernah dia lihat di Mekah. Karena, di sanalah para calon wakil Suf  negeri-
               negeri Jawi berkumpul untuk membeli ijazah-ijazah yang dibutuhkan untuk
               menyedot keuntungan apa pun yang mereka bisa dari bangsa-bangsa Asia
               Tenggara yang mudah percaya dan kaya; meski sejauh yang bisa dia katakan,
               baik ijazah maupun perilaku mereka tidak sejalan dengan buku-buku panduan
               mereka sendiri. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak bisa disandingkan
               dengan  para  guru  Suf sme  sejati,  termasuk  orang-orang  Naqsyabandi  asli,
               yang tarekatnya telah begitu direndahkan oleh para syekh seperti Sulayman
               Afandi yang salah menafsiri Al-Quran dan karya-karya para Suf  terhormat,
               seperti al-Sya‘rani. 11
                    Jadi, tampaknya Ahmad Khatib mau menerima gagasan tentang tarekat
               Suf  yang benar-benar terhormat, asalkan sesuai dengan praktik yang terbukti
               kesahihannya  dan  sifat-sifat  Tuhan  tidak  dihubungkan  dengan  Nabi  atau
               para wali. Dia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak menolak bahasa kaum
               Suf , tetapi hanya berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
               kepadanya  dan  menjelaskan  tindakan-tindakan  serta  silsilah-silsilah  mana
               yang benar-benar sampai ke Nabi. Dia bahkan mengulangi lagi pandangan
               umumnya menjelang akhir karya ini ketika dia secara eksplisit menyangkal
               memiliki  keberatan  apa  pun  terhadap  tarekat  para  Suf   yang  sepenuhnya
               sesuai dengan Syari‘ah.  Dengan demikian, pendekatan Ahmad Khatib harus
                                  12
               dipandang sebagai satu lagi kritik elite yang menghargai nama-nama besar dari
               masa lalu. Dia juga sama sekali bukan penganut Wahhabiyyah. Dalam hal ini
               dia bisa disejajarkan dengan para cendekiawan Bagdad dan Damaskus yang
               juga menjembatani kesenjangan antara reformisme Suf  dan “modernisme”
               rasionalis yang secara retrospektif dilabeli sebagai Wahhabisme. 13
                    Begitu  pula  keajaiban,  meski  jelas  berada  di  luar  jangkauan  para
               penjual minyak ular yang dibiarkan berjaya di bawah Sultan ‘Abd al-Hamid,
               tidak  dinaf kan.  Hal-hal  demikian  hanyalah  milik  masa  lalu  sebagaimana
               kepercayaan  terhadap  kebenaran  Isra  Mikraj  dan  keberadaan  Malaikat.
               Sebenarnya  gagasan  yang  sangat  mirip  diungkapkan  oleh  Zayn  al-Din  al-
               Sumbawi  sekitar  dua  dekade  sebelumnya  ketika  dia  membela  keabsahan
               Isra Mikraj sebagai argumen menentang klaim para Suf  (yang tak disebut
               namanya) yang menyatakan bahwa mereka telah melihat Tuhan. 14
                    Di  sisi  lain,  juga  terdapat  sosok-sosok  yang  sangat  dihormati  yang
               mengukuhkan berbagai inovasi Naqsyabandi seperti keyakinan akan adanya
               latifa, atau titik-titik pusat pada badan. Di antara mereka adalah Muhammad
               Salih  al-Zawawi,  yang  menulis  panduan  singkat  mengenai  Mazhariyyah
               sewaktu  mengunjungi  Riau  pada  1880-an  dan  dicetak  oleh  Percetakan
                                    15
               Ahmadiyyah pada 1895. Pasca-wafatnya Muhammad Salih, putranya tetap
   223   224   225   226   227   228   229   230   231   232   233