Page 226 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 226

DARI SUFISME KE SALAFISME  —  205


               prihatin  dengan  berbagai  visi  mabuk  yang  dilaporkan  oleh  para  pengikut
               muda  yang  tersedot  dalam  ketidaksadaran  diri  karena  “terpesona”  atau
               “tertarik”  oleh  kehadiran  Ilahiah  (jadhba).  Dalam  mukadimah  fatwanya,
               yang  sangat  mungkin  diselesaikan  pada  1906,  al-Fatani  mengakui  bahwa
               dia  pernah  “masuk”  Ahmadiyyah,  tetapi  mengakui  bahwa  pengalaman
               “ketertarikan”-nya  berbeda  dari  penggambaran  sang  raja.  Oleh  karena  itu,
               apa yang diuraikan setelahnya berasal dari pembacaannya yang luas terhadap
               “kata-kata para Suf ” dari sudut pandang seorang dalam. 4
                    Fatwa yang dihasilkan, yang agak panjang, tidak mengutuk tarekat tersebut,
               tetapi  menawarkan  penjelasan  mengenai  berbagai  jenis  “ketertarikan”  yang
               mungkin sebagiannya berdasarkan tulisan-tulisan Muhammad Abi l-Wahhab
               al-Syadhili dan guru al-Sya‘rani, ‘Ali al-Khawass. Jenis-jenis ini terentang dari
               keadaan keliru hingga momen-momen ekstase sejati yang dialami oleh seorang
               “pejalan” sejati di jalan makrifat. Ini adalah sebuah penjelasan klasik, tetapi
               gambaran-gambaran  al-Fatani  bisa  jadi  sangat  modern,  seperti  ketika  dia
               menyerupakan pengalaman ketertarikan Ilahiah dengan bepergian naik kereta
               yang melaju. Pastinya, kriteria utama untuk sebuah pengalaman sejati tetaplah,
               seperti bisa diduga, pengetahuan mengenai hukum sebagaimana teladan sang
               syekh. Bahkan, al-Fatani mengakui bahwa beberapa orang berbohong dengan
               mengklaim  mendapatkan  visi  untuk  meruntuhkan  guru  mereka,  dan  dia
               menekankan bahwa akses terhadap pengalaman esoteris sejati harus dibatasi
               dan tidak dikomunikasikan kepada orang-orang yang tidak tahu. 5
                    Al-Fatani juga mencatat sudah menjawab berbagai permohonan fatwa
               mengenai praksis Suf  dari bagian-bagian lain Siam dan Perak, tempat orang-
               orang  yang  tidak  tahu  diduga  memasukkan  berbagai  praktik  pra-Islam  ke
               ritual. Kritik-kritik demikian membuat dia sejajar dengan Sayyid ‘Utsman.
               Di  sisi  lain,  al-Fatani  juga  bersikap  kritis  terhadap  para  syekh  Hadrami
               yang tak disebut namanya, yang mendorong “gerakan ke sana kemari” dan
               “lambaian  tangan”  oleh  “orang-orang  Jawa  bodoh  dan  orang-orang  awam
               Melayu” yang menghadiri pembacaan puisi pujian yang dipimpin para syekh.
               Akhirnya, al-Fatani menyiratkan bahwa tarekat yang dimaksud di Kelantan
               bisa dinyatakan sahih, mengingat gurunya mengklaim sebuah kaitan dengan
               Sidi Muhammad Salih dan Ahmad al-Dandarawi. Dia jelas menganut aliran
               pemikiran  bahwa  tarekat  bisa  dianggap  sesuai  dengan  ortodoksi.  Sebagai
               penutup,  dia  menegaskan  bahwa  pengetahuan  mengenai  ilmu-ilmu  Islam
               yang penting, baik lahir maupun batin, haruslah dituntut selain pengetahuan
               (modern)  tentang  dunia.  Dengan  kombinasi  pembelajaran  inilah  semua
               muslim bisa “membela dan mengangkat kedaulatan Islam”. 6
                    Akan  tetapi,  terdapat  suara-suara  Jawi  lainnya  di  Mekah  yang  tidak
               terlalu memberi hati pada golongan mabuk di Asia Tenggara. Barangkali yang
               paling lantang adalah Ahmad Khatib al-Minankabawi, yang dimintai putusan
   221   222   223   224   225   226   227   228   229   230   231