Page 66 - E-Modul Interaktif Sejarah Pergerakan Kebangsaan di Indonesia (HP)
P. 66
Materi
B. SI Afdeling B
a
l
i
.
A
d
S
e
I
g
d
r
i
i
r
n
y
B
n
B
e
f
1 1. Berdirinya SI Afdeling B
Hot Sarekat Islam (SI) berkembang menjadi organisasi yang besar dalam
waktu yang singkat, keanggotaannya tidak hanya meliputi masyarakat kota,
melainkan turut menarik simpati para petani di desa-desa. Selain itu,
pertumbuhan SI juga dipengaruhi oleh keterbukaannya dalam menerima
anggota tanpa memandang latar belakang mereka, sangat berbanding
terbalik dengan Budi Utomo yang hanya melingkupi masyarakat Jawa dan
Madura (Usman, 2017: 51).
Hot Di sisi lain, perkembangan SI yang begitu pesat membuat Belanda gusar.
Dengan maksud agar Sarekat Islam terpecah, pihak kolonial lalu
mendatangkan Henk Sneevliet, salah seorang warga Belanda yang
berpaham sosialis demokrasi untuk melakukan penyusupan ke tubuh SI.
Pada bulan Mei 1914, setelah banyak warga Belanda lainnya yang berpaham
Marxisme datang, maka dibentuklah organisasi Indische Sociaal
Demokratische Vereniging (ISDV) di Surabaya. Rencana yang telah disusun
dengan rapi oleh Belanda ini ternyata berhasil, dengan bergabungnya
beberapa tokoh penting SI ke dalam ISDV, seperti Tan Malaka, Darsono,
Alimin, Semaoen, dan tidak luput Sosrokardono (Sekretaris CSI). Hal ini
membawa Sarekat Islam ke arah radikal.
Hot Semaun yang terpilih menjadi pemimpin Sarekat Islam cabang
Semarang pada tanggal 6 Mei 1917 membawa perubahan yang sangat besar
dalam organisasi. Menurut Ayu (2021: 54-55), SI cabang Semarang yang
awalnya dikendalikan kaum menengah dan pegawai pemerintah, kemudian
diubah Semaoen sebagai gerakan kiri kaum buruh dan tani, yang bertindak
revolusioner dan nonkooperatif. Sementara itu, Sosrokardono kemudian
membentuk Sarekat Islam Afdeling B (Seksi B) atau SI B di Jawa Barat.
l
a
m
i
m
C
a
m
e
r
e
a
e
r
P
i
i
w
s
t
a
I
f
A
S
.
2
2. SI Afdeling B dalam Peristiwa Cimareme
d
B
d
g
l
e
n
i
Hot Peristiwa Cimareme merupakan sebuah pemberontakan yang dilakukan
oleh Haji Hasan Arif di Kampung Cimareme, Desa Sukasari, Kecamatan
Banyuresmi, Garut, Jawa Barat pada tahun 1919. Pemberontakan ini
disebabkan karena adanya kebijakan Belanda yang dianggap semena-
mena terkait pembelian padi, terutama di wilayah Garut. Para petani Garut
yang memiliki sawah seluas 5 bau, diwajibkan untuk menjual 4 pikul/bau.
Sementara itu, petani yang memiliki sawah kurang dari 5 bau, tidak
diwajibkan untuk menjual sebanyak 4 pikul/bau, dan yang hanya memiliki
1/2 bau, tidak diharuskan menjual padinya ke Belanda. Mirisnya, pemerintah
turut menetapkan tarif perpikulnya, yakni 4,5 gulden yang jauh dari harga
pasarannya (Ayu, 2021: 57).
54