Page 120 - Perspektif Agraria Kritis
P. 120
Bagian II. Memaknai Ulang Reforma Agraria
pit mining, konversi lahan pertanian, dan tak jarang pula
pembuangan limbah beracun (WALHI 2015). Model
pembangunan semacam ini telah menimbulkan krisis ekologi
yang antara lain mencuat dalam bentuk deforestasi dan
berbagai bentuk bencana alam turunannya (longsor, lahan
kritis, banjir, dan lain-lain).
Kebijakan reforma agraria mustahil akan dapat
melahirkan peningkatan produktivitas dan kesejahteraan
rakyat apabila basis ekologisnya mengalami krisis. Sebagai
misal, luas lahan kritis pada tahun 2013 mencapai 27.294.842
hektare dengan sebanyak 5.269.260 hektare di antaranya
tergolong sangat kritis. Sementara pada tahun yang sama,
kemampuan pemerintah melakukan rehabilitasi/reboisasi
hanya sebatas 105.656 ha (WALHI 2015). Jadi, memerlukan
waktu 258 tahun lebih untuk menuntaskan pemulihan lahan
kritis ini, itu pun jika tidak terjadi penambahan lahan kritis
baru.
Ditempatkan dalam konteks dua krisis ini, lantas
kebijakan reforma agraria seperti apakah yang harus
dijalankan oleh pemerintah? Pertama, ia harus mampu
meningkatkan akses rakyat pada basis-basis utama kekuatan
produksi pedesaan. Kedua, pada saat yang sama ia harus
mampu melindungi akses rakyat itu dari berbagai kekuatan
yang dapat mengurangi dan bahkan menghilangkannya.
Konsep keberlanjutan tenurial dapat dipergunakan
untuk mengacu dua hal di atas, sejauh ia tidak diartikan
sebatas tenurial security yang hanya menekankan pada
legalitas hak dalam bentuk sertipikasi. Alih-alih, konsep ini
harus dipahami secara luas sebagai sasaran dari program
reforma agraria yang komprehensif yang menuntut paling
tidak perwujudan empat pilar pembaruan berikut ini: (1)
jaminan akses, (2) perlindungan hak, (3) perlindungan sistem
produksi, dan (4) perlindungan ekosistem.
55