Page 119 - Perspektif Agraria Kritis
P. 119
Perspektif Agraria Kritis
KONTEKS KRISIS AGRARIA DAN EKOLOGI
Penting disadari bahwa kebijakan reforma agraria yang
akan dijalankan oleh pemerintah tidak berada dalam ruang
hampa. Presiden Jokowi sendiri dalam rapat kabinet tersebut
mengangkat isu ketimpangan yang hendak diatasi melalui
kebijakan reforma agraria. Sebagai misal, Presiden menyitir
angka indeks gini pada Maret 2016 sebesar 0,39 yang hanya
turun sedikit dari posisi Maret 2015 sebesar 0,41.
Namun, penting untuk dicatat bahwa angka indeks
gini yang disampaikan Presiden Jokowi ini berdasarkan pada
konsumsi rumah tangga, bukan konsentrasi penguasaan aset
agraria. Apabila faktor terakhir ini diperhitungkan, indeks gini
akan lebih besar lagi dan dapat mencapai angka 0,7. Sebagai
ilustrasi, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional pada era
kepemimpinan Joyo Winoto, sebanyak 56% aset nasional yang
berupa tanah, mayoritas dalam bentuk konsesi perkebunan,
dikuasai oleh hanya 0,2% populasi Indonesia. Ironisnya, banyak
tanah-tanah konsesi perkebunan itu justru dibiarkan terlantar
atau berada dalam status konflik dengan warga setempat.
Ketimpangan di sektor pertanian rakyat sendiri cukup
besar. Menurut data BPS, selama 1973-2003 jumlah rumah
tangga petani (RTP) naik dari 21,6 juta menjadi 37,7 juta. Lahan
pertanian yang digarap juga meningkat dari 14,2 juta hektare
menjadi 21,5 juta hektare. Namun, peningkatan ini juga
disertai kenaikan RTP tak bertanah dari 7,1% menjadi 13,4%.
RTP dengan penguasaan tanah kurang dari 0,5 hektare juga
meningkat dari 46% menjadi 51%.
Konteks permasalahan lain yang harus dihadapi adalah
krisis ekologi. Sampai kini pemerintah terus mereproduksi
pembangunan berisiko yang tinggi, yakni model pembangunan
yang bertumpu pada perkebunan monokultur skala luas dan
industri ekstraktif yang melibatkan penggundulan hutan, open
54