Page 87 - Perspektif Agraria Kritis
P. 87
Perspektif Agraria Kritis
Keempat persoalan agraria yang disajikan Tabel 1.1. di
atas saling terkait antara satu dengan lainnya dalam satu
hubungan yang saling mempengaruhi. Kesalingterkaitan ini
dapat dibayangkan lebih jelas dengan mengingat kembali
kasus masyarakat Marind yang dikutip secara panjang lebar di
atas (Kotak 1.1.). Demikianlah, status otonomi khusus Provinsi
Papua ternyata tidak cukup kuat untuk menyediakan
perlindungan kepada “tanah adat” orang Papua, terutama
ketika pihak terakhir ini menghadapi serbuan janji, tekanan
dan bahkan stigma separatis dari para pemodal besar yang
menggandeng aparat keamanan, pemerintah daerah dan
sejumlah elit adat setempat. Kondisi ini menyebabkan
sejumlah komunitas lokal tidak memiliki cukup pilihan selain
melepaskan tanah adatnya kepada perusahaan-perusahaan
besar dengan kompensasi material yang tidak sebanding
(tenurial insecurity).
Sayangnya, industri kehutanan yang menguasai tanah
luas (tenurial inequality) ini ternyata gagal mewujudkan
kemajuan dan pembangunan komunitas seperti yang banyak
ia janjikan. Sebaliknya, hal itu justru melahirkan sistem
produksi modern yang “kikir tenaga kerja” serta pola baru
ekstraksi surplus yang belum pernah ada presedennya
(ketidakadilan dalam relasi produksi dan distribusi surplus).
Kondisi ini semakin memperdalam kondisi kerentanan dan
ketimpangan tenurial yang sudah ada.
Pada saat yang sama, industri kehutanan dengan
penguasaan tanah yang sangat luas itu juga telah merombak
secara besar-besaran bentang alam setempat yang sulit
dipulihkan kembali (ketidakadilah dalam alokasi ruang dan
pendayagunaan sumber-sumber agraria). Perubahan bentang
alam ini secara ekologis telah mengancam sistem produksi dan
pola nafkah komunitas lokal yang terutama bertumpu pada
kegiatan meramu pohon sagu dan berburu hewan di hutan.
Dampak buruk dari goncangan pada sistem pangan lokal ini
22