Page 304 - My FlipBook
P. 304

Bagian Ketiga



                               197
                 “paralelisme”.  Semua model beragama yang penulis sebutkan ini sejatinya
                 bermuara pada satu fakta : merelatifkan konsep ketuhanan dan menyamakan
                 semua agama.



                        Dalam  sebuah  dialog  bersama  tokoh-tokoh  agama  di  Jakarta,  M
                 Natsir, mantan Perdana Menteri RI mengatakan bahwa, perdamaian nasional

                 hanya  bisa  dicapai  kalau  masing-masing  golongan  agama,  di  samping
                 memelihara  identitas  masing-masing  juga  pandai  menghormati  identitas

                 golongan lain. Lanjutnya,”Apakah kita ini, yang memeluk bermacam-macam

                 agama, yang sudah sama-sama berjuang dan ingin terus menegakkan Negara
                 Republik ini sebagai Negara kita bersama, bisa mencari dan mendapat satu

                 modus Vivendi, yang menjamin keragaman hidup antar agama, dengan tidak
                 mengkhianati  keyakinan  agama  kita  masing-masing.” 198   Inilah  pandangan

                 hidup  Islam  tentang  kemajemukan  yang  dicontohkan  oleh  tokoh  Islam
                 sekaliber Pak Natsir.



                        Dalam  realitas  kehidupan  yang  pluralistik  dan  majemuk  seorang
                 muslim harus konsisten dengan afiliasi (intimâ’) dan loyalitas (walâ’) kepada

                 konsep keyakinannya (Islam, iman dan ihsan). Bahkan pada saat berdialog




            kepada  nilai-nilai  dan  hukum-hukum  sejarahnya  sendiri.  Pendekatan  ini  tidak  dapat  diterima
            karena, setiap agama memiliki latar belakang historis masing-masing yqang tidak mudah untuk
            diputuskan begitu saja. Dengan kata lain masing-masing agama telah terikat secara kental kepada
            nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri.
            197   Pandangan  dan  sikap  yang  menganggap  bahwa  semua  kepercayaan  yang  berbeda-beda,
            meskipun berliku-liku dan bersimpangan, sesungguhnya mempunyai kesejajaran untuk bertemu
            pada  masa  akhir  penziarahan  manusia  [eschaton].  Tentang  pandangan-pandangan  ini  lihat,  A.
            Mukti  Ali,  Kuliah  Agama  Islam  di  Sekolah  Staf  dan  Komando  Angkatan  Udara  Lembang
            (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1973), hlm. 17-24 sebagaimana dikutip oleh Faisal Islmail, “Islam,
            Pluralisme dan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia” dalam jurnal Unisia,  No.
            33/XVIII/I/1997, hlm. 61-63
            198   M  Natsir,  Mencari  Modus  Vivendi  Antar  Umat  Beragama  di  Indonesia  (Jakarta  :  Media
            Dakwah, 1983), hal. 9-10, 15




            292
   299   300   301   302   303   304   305   306   307   308   309