Page 303 - My FlipBook
P. 303
Isu-Isu Keummatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Universal
mempengaruhi “garis darah: justeru lebih banyak daripada mempengaruhi
193
afiliasi keagamaan
Kemajemukan (pluralitas: bukan “pluralisme” yang bersendikan
relativisme), pengakuan dan apresiasi terhadap kemajemukan dengan
demikian memiliki pijakan teologis-normatif sekaligus bukti historis yang
otentik dalam ajaran Islam yang dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam
mewujudkan peradaban universal yang beradab, khususnya pada masalah
hubungan antar agama dan pemeluk-pemeluknya di era kemajemukan seperti
kita rasakan saat ini. Terlebih dalam konteks keIndonesiaan yang majmuk dan
pluralistik dengan keanekaragaman suku, adat, dan budaya. Konsep tasamuh
dalam Islam tidak berarti menista dan melebur keyakinan ataupun keimanan
(akidah) kita dengan agama-agama lain (pluralisme). Bukan pula bermakna
195
194
“sinkretisme” , atau “rekonsepsi” (reconception) ataupun juga
196
“sintesis” . Ajaran tasamuh tidak dapat pula dimaknai sebagai
193 Nurcholish Madjid, Kata Pengantar dalam Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan ]Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992 [Cet. Kedua, hlm. xxvii
194 Paham ini berkeyakinan bahwa pada dasarnya semua agama itu adalah sama. Semua tindak laku
harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari Keberadaan Asli (zat), sebagai pancaran dari
Terang Asli yang Satu dan sebagai ombak dari samudera yang Satu. Aliran ini disebut pula
Pantheisme, Pan-komisme, Universalisme atau Theo-panisme. Jalan ini tidak dapat diterima sebab
dalam ajaran Islam, misalnya, Khaliq (sang Pencipta) adalah samasekali berbeda dengan makhluq
(yang diciptakan). Dengan demikian menjadi jelas siapa yang disembah dan untuk siapa seseorang
berbakti dan mengabdi.
195 Sebuah paham bahwa orang harus menyelami secara mendalam dan meninjau kembali ajaran-
ajaran agamanya sendiri dalam rangka konfrontasinya dengan agama-agama lain. Obsesinya
adalah bagaimana sebenarnya hubungan antara agama-agama yang terdapat di dunia ini, dan
bagaimana dengan cara rekonsepsi tersebut dapat terpenuhi rasa kebutuhan akan satu agama dunia.
Pandangan ini tidak dapat diterima karena jalan rekonsepsi ini memposisikan agama sebagai
produk pemikiran manusia. Padahal agama secara fundamental diyakini sebagai wahyu Tuhan.
196 Yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari agama lain.
Dengan cara ini, tiap-tiap pemeluk dari suatu agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya
telah diambil dan dimasukkan ke dalam agama sintesis tersebut. Pendekatan ini tidak dapat
diterima karena, setiap agama memiliki latar belakang historis masing-masing yang tidak mudah
untuk diputuskan begitu saja. Dengan kata lain masing-masing agama telah terikat secara kental
291