Page 521 - My FlipBook
P. 521
Tantangan Pemikiran dan Ideologi Klasik & Kontemporer
Umar bin Khathab berpegang pada sabda Rasulullah saw: ”Hindarkanlah had
(hukuman yang sudah ditentukan, semisal potong tangan atau rajam. Pen.) semampu
kalian dari orang Islam, sebab lebih baik seorang imam (hakim) salah dalam memberikan
ampunan, daripada ia salah dalam memberikan had.” Karena itu, kata Umar r.a. :
”Menggugurkan had dalam masalah-masalah yang belum jelas, lebih baik daripada
melaksanakannya.”
Oleh sebab itu, tidak benar tuduhan bahwa Umar bin Khathab berani mengubah
nash yang qath’iy. Umar r.a. tetap berpegang kepada nash al-Quran dan Sunnah. Dr.
Baltaji menulis: ”Merupakan kesalahan yang sangat fatal, jika ada orang yang mengira
bahwa Umar bin al-Khathab adalah pioner (orang yang pertama kali) dalam
menggugurkan had pencuri. Karena pada kenyataannya ia hanya sebatas
mempraktikkan nash-nash yang umum dan khusus dari al-Quran dan sunnah.”
Umar bin Khathab dan para sahabat Nabi saw adalah manusia-manusia pilihan
yang sangat taat kepada al-Quran. Suatu ketika, saat menjabat kepala negara, Umar
berpidato di atas mimbar: ”Aku tidak mendengar seorang wanita yang maharnya
melewati mahar istri-istri Nabi, kecuali aku akan menguranginya.” Tiba-tiba seorang
wanita berkata kepada Umar: ”Kau berkata dengan pendapatmu sendiri atau kau
mendengar dari Rasulullah? Karena kami menemukan dalam al-Quran sesuatu yang
tidak sesuai dengan perkataanmu.” Dia lalu membaca QS 4:120. Mendengar kritik wanita
tersebut, Umar bin Khathab berkata: ” Perempuan ini betul dan Umarlah yang salah.”
Itulah sikap Umar r.a. sebagai seorang kepala negara yang memiliki kualitas
keilmuan yang sangat tinggi. Generasi sahabat memang dikenal sebagai generasi yang
sangat kritis. Karena itulah, seorang pemimpin, seperti Umar bin Khathab tidak bisa
bertindak sembarangan, apalagi sampai mengubah-ubah hukum yang jelas ditetapkan
dalam al-Quran dan Sunnah.
Dalam wawancara dengan Republika tersebut, Prof. Rofiq berpendapat bahwa
dalam masalah sosial kemasyarakatan dan kemaslahatan yang lebih besar, hukum-
hukum Islam masih bisa diperdebatkan. Dia contohkan, hukum iddah bagi wanita bisa
diperdebatkan, karena dengan kemajuan teknologi, dalam waktu lima menit sudah bisa
diketahui seseorang yang berhubungan suami-istri bisa hamil atau tidak.
Logika seperti ini sebenarnya sangat riskan, sebab tidak memiliki batasan yang
jelas, sehingga bisa menjadi pendapat yang liar. Seharusnya, setiap Muslim tidak
gegabah dalam mengeluarkan pendapat jika tidak didukung oleh landasan yang kokoh.
Dari fakultas syariah IAIN Semarang telah lahir sejumlah sarjana syariat yang secara
terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis. Bahkan, pendapat mereka diterbitkan
509